Laporan Praktikum Ekologi Umum: Pendugaan Populasi Satwa Liar dan Analisis Habitat

BAB 1
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang
    Pada beberapa kasus, daripada menghitung tiap organisme yang ada, para ekologis mengestimasikan densitas populasi berdasarkan jumlah sarang, lubang atau jalur yang terbentuk. Selain itu, para ekologis juga menggunakan metode mark-recapture untuk memberikan estimasi dari ukuran populasi satwa liar (Campbell, 2017). Menurut Efandi (2013), satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam yang harganya sungguh tak ternilai sehingga sangat perlu dijaga kelestariannya. Khususnya adalah dalam kegiatan perniagaan terhadap satwa liar yang populasinya telah cukup langka. Dengan menjaga kelestarian satwa liar, maka telah turut menjaga keseimbangan ekologi.
    Tingkat kelangkaan suatu populasi—yang dalam hal ini adalah populasi satwa liar—dapat diketahui setelah dilakukannya berbagai metode dalam mengungkap estimasi populasinya. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah metode transek di mana metode ini mencakup pengumpulan data berupa jenis dan jumlah individu satwa liar. Adapun panjang maupun lebar jalur transek tergantung pada kondisi topografi dan kerapatan tegakan pada lokasi pengamatan (Bismark, dalam Rita dan Ratna, 2017).
    Dari penjabaran di atas, maka perlu dilakukan sebuah praktikum untuk mengetahui populasi satwa liar yang ada di habitatnya, mengetahui tipe-tipe dan karakteristik habitat satwa serta pengaruhnya dan melatih keterampilan mahasiswa dalam menerapkan teknik sampling.
I.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui populasi satwa liar yang ada di habitatnya dengan metode line transects dan point count.
  2. Melatih keterampilan mahasiswa dalam menerapkan teknik-teknik sampling satwa liar dan menganalisis data parameter yang dikumpulkan menggunakan statistik ekologi secara tepat dan teliti.
  3. Mengetahui tipe-tipe habitat satwa dan karakteristik habitat dan pengaruhnya terhadap populasi satwa.
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
    Adapun percobaan ini dilaksanakan pada hari -------------------- pukul 05.30 – 07.00 WITA dan 14.00 – 17.00 WITA bertempat di pelataran gedung IPTEKS dan Laboratorium Biologi Dasar, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Satwa Liar dan Habitatnya
    Habitat satwa liar tergantung pada kondisi lingkungan yang diperlukannya untuk mendukung keberlangsungan hidupnya. Hal tersebut dikarenakan suatu habitat memiliki peran sebagai penyedia makanan, air maupun pelindung bagi suatu organisme. Oleh karena itu, tiap jenis satwa memiliki habitatnya masing-masing, yakni habitat yang ditempati oleh suatu satwa akan berbeda dengan satwa yang lainnya (Dasman, dalam Rita dan Ratna, 2017). Adapun menurut Alikodria, dalam Rita dan Ratna (2017), habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari adanya interaksi-interaksi yang terjadi antar komponen fisik dan biotik sehingga dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya.
    Unsur suatu habitat yang memiliki peran dalam mengendalikan satwa liat terdiri dari (Shawn, dalam Rita dan Ratna, 2017):
  1. Pakan (food), yakni sebagai sumber energi satwa. Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata. Tiap jenis satwa memiliki jenis pakannya sendiri, namun jenis pakan tersebut hanya tersedia pada musim-musim tertentu.
  2. Pelindung (cover), yakni sebagai tempat di mana satwa dapat mendapatkan perlindungan dari berbagai cuaca dan predator serta bersifat menguntungkan bagi kehidupan satwa. Artinya, kondisi yang diberikan oleh habitat tersebut memiliki kondisi terbaik dibanding habitat yang lain.
  3. Air (water), yakni sebagai unsur pendukung jalannya berbagai proses metabolisme dalam tubuh satwa. Tiap satwa memiliki kadar kebutuhan air yang berbeda-beda satu sama lainnya sehingga ketersediaan air dalam suatu habitat dapat mengubah kondisi lingkungannya secara signifikan. Pengaruh tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.
  4. Ruang (space), yakni sebagai tempat bagi satwa dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupan seperti tempat mendapatkan makanan, perlindungan, air maupun tempat untuk berkembang biak. Ukuran ruang yang dibutuhkan tergantung pada ukuran populasi. Sedangkan ukuran populasi bergantung pada jenis satwa, pakan, produktivitas dan keanekaragaman habitat.
    Menurut Bismark (2011), kualitas vegetasi atau habitat hutan dapat dilihat berdasarkan keberadaan satwa liar, populasi dan keanekaragaman jenis yang hidup di dalamnya. Adapun data yang dikumpulkan dalam survei satwa liar mencakup jenis satwa yang teramati berdasarkan jejak dan suara, jumlah individu, jenis kelamin, kelompok usia (bayi, muda, tua), aktivitas, pemanfaatan ruang, waktu teramati serta kondisi habitat yang merupakan lokasi pengamatan. Jejak-jejak yang dapat diamati mencakup sisa-sisa makanan (buah, bekas renggutan, atau potongan sisa pakan), bekas cakaran dan kubangan, bekas komponen fisik (bau, rambut, bulu), bekas sarang, dan bekas jejak kaki.

II.2 Metode Estimasi Populasi Satwa Liar
    Terdapat berbagai metode dalam usaha estimasi populasi. Berikut ini akan dijabarkan beberapa contoh metode yang dapat digunakan.
1. Metode Line Transect
    Line transect merupakan metode yang digunakan dalam melakukan analisis organisme dengan membentuk jalur sempit melintang pada lokasi yang ingin diamati. Metode ini mempelajari lahan pengamatan dengan menggunakan garis-garis seperti petak contoh (Fachrul, dalam Cahyanto dan Kuraesin, 2013). Adapun plot pengamatan terbagi atas 3 jenis, yakni plot pengamatan berukuran 20x20 m untuk vegetasi tingkat pohon. Sementara di dalamnya dibuat dua buah plot, yakni berukuran 10x10 m untuk tingkat pancang dan 5x5 m untuk tingkat semai dan anakan (Wibisono, dalam Cahyanto dan Kuraesin, 2013).
    Metode ini dilakukan dengan pertama-tama menentukan lokasi pengamatan dan jalur transek. Setelah itu, pengamatan dilakukan dengan mengamati daerah dalam lingkup jalur transek. Contohnya, pengamatan perjumpaan jenis burung yang sedang melintas atau sedang bertengger di sepanjang jalur transek. Jenis yang dijumpai akan dicatat dalam kurun waktu tertentu. Selain memperhatikan individu yang ada, pengukuran faktor-faktor lingkungan seperti suhu dan kelembapan udara juga sangat perlu dilakukan karena faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap individu yang ada dalam populasi tersebut sehingga dapat menunjang data hasil pengamatan (Nijman dan Sozer, dalam Sukityanawati, dkk., 2016).
2. Metode Kamera Trap (Camera Trapping)
    Dengan menggunakan metode ini, maka kehadiran pengamat tidak diperlukan dalam kegiatan estimasi populasi. Metode ini berguna dalam kegiatan estimasi satwa-satwa berbahaya seperti harimau, macan, citah dan berbagai jenis predator lainnya. Kamera akan diletakkan pada lokasi pengamatan yang diduga merupakan jalur pergerakan dari satwa yang akan diestimasikan (Bismark, 2011).
3. Metode Pengamatan Cepat (Rapid Assesment)
    Metode ini dilakukan dengan tujuan mengetahui jenis-jenis satwa liar yang terdapat pada lokasi pengamatan sehingga tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan populasi. Wilayah pengamatan dengan metode ini tidak terbatas, artinya tidak harus dilakukan pada jalur atau lokasi khusus. Tak hanya itu, waktu pengamatan pun tidak ditentukan (Bismark, 2011).
4. Metode Titik Hitung (Point Count)
    Metode ini disebut juga metode transek titik atau point transect. Umumnya, metode ini dilakukan untuk menduga populasi burung. Adapun metode point count dilakukan dengan mencatat seluruh jenis burung yang ditemukan dalam jalur transek selama jangka waktu tertentu (misalnya selama 10 menit). Selang waktu yang ditentukan, pengamat akan berpindah ke titik selanjutnya. Metode ini berbeda dengan metode line transect (Bismark, 2011).
5. Metode Penemuan Visual (VES atau Visual Encounter Survey)
    VES digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies dalam periode waktu tertentu. Teknik ini bukan metode yang tepat untuk menentukan kepadatan (density) karena tidak semua individu dalam area tersebut dapat terlihat dalam survai. VES dapat dilakukan di sepanjang transek, sepanjang sungai, sekitar kolam dan lainnya (Bismark, 2011).

    Suatu habitat berfungsi sebagai penyedia berbagai faktor lingkungan bagi individu yang hidup di dalamnya sehingga habitat-habitat tertentu hanya akan ditinggali oleh jenis-jenis tertentu. Habitat satwa liar sendiri terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang mana kedua komponen itu melakukan interaksi sehingga menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai oleh jenis satwa liar itu sendiri. Adapun unsur suatu habitat yang menjadi pengendali satwa liar yang hidup di dalamnya terdiri dari pakan (food), pelindung (cover), air (water), dan ruang (space). Pakan di sini merupakan unsur pendukung yang nyata, yakni sebagai sumber energi bagi satwa liar. Adapun pelindung memberikan kenyamanan bagi satwa liar terlepas dari cuaca dan kehadiran predator. Sementara air di sini berguna sebagai media terjadinya berbagai proses metabolisme sedangkan ruang adalah tempat bagi satwa liar hidup melakukan berbagai macam aktivitas kehidupan.
    Dalam melakukan upaya pelestarian satwa liar, maka sangat perlu dilakukan sebuah kegiatan estimasi populasi untuk melihat bagaimana karakteristik populasi itu. Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk memberikan estimasi tersebut. Pertama adalah metode line transect, di mana garis yang sejajar diletakkan dalam area tertentu dan yang menjadi objek pengamatan adalah berbagai spesies yang ada di antaranya. Kedua adalah metode kamera trap yang hanya mengandalkan kemampuan kamera. Ketiga adalah metode pengamatan cepat yang digunakan untuk mengetahui jenis organisme yang hidup pada habitat tertentu. Keempat adalah metode titik hitung yang umumnya dilakukan untuk menduga populasi burung. Terakhir adalah metode VES yang digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis suatu daerah.

DAFTAR PUSTAKA


Bismark, M., 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis pada Kawasan Konservasi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Cahyanto, T. dan R. Kuraesin, 2013. Struktur Vegetasi Mangrove di Pantai Muara Marunda Kota Administrasi Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Universitas Islam Negeri Sunand Gunung Djati. 7(2):73-88.

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman dan P.V. Minorsky, 2017. Biology Eleventh Edition. New York: Pearson Education Inc..

Efandi, N., 2013. Upaya Pelestarian Rusa Sambar di Pusat Penangkaran Rusa di Desa Api-Api Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser Utara (Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa). Jurnal Beraja Niti. 2(9):1-11.

Rita, R.R.N.D. dan Y. Ratuaningsih, 2017. Potensi Jenis dan Kepadatan Populasi Satwa Liar di Obyek Wisata Alam Air Terjun Benang Kelambu dan Benang Stokel di Kawasan Hutan Lindung Gunung Rinjani Dusun Pemotoh Desa Aik Berik Sepage Kecamatan Batu Kliang Utara Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Sangkareang Mataram. 3(3):25-28.

Sukistyanawati, A., H. Pramono, B. Suseno, H. Cahyono dan S. Andriyono, 2015. Inventarisasi Satwa Liar di Cagar Alam Pulau Sempu. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.8(1):26-35.


Paragraf yang tidak memiliki rujukan, mengikuti rujukan paragraf sebelumnya. Kecuali beberapa paragraf terakhir yang merupakan rangkuman.

Tidak untuk disalin! 
Artikel ini dibagikan untuk memberi contoh dan menginspirasi:)

0 Comment:

Post a Comment

/>