Laporan Praktikum Fisiologi Tumbuhan: Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Laju Transpirasi

BAB 1
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
    Transpirasi dapat diartikan sebagai proses kehilangan air dalam bentuk uap dari jaringan tumbuhan melalui stomata. Potensi kehilangan air dari jaringan tanaman melalui bagian tanaman yang lain dapat saja terjadi, tetapi porsi kehilangan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan jumlah air yang hilang melalui stomata. Oleh sebab itu, dalam perhitungan besarnya jumlah air yang hilang dari jaringan tanaman umumnya difokuskan pada air yang hilang melalui stomata (Lakitan, 2010).
    Daun memegang kendali dan peran penting atas berlangsungnya proses transpirasi pada tumbuhan. Besar kecilnya laju transpirasi secara tidak langsung ditentukan oleh energi panas matahari melalui mekanisme membuka dan menutupnya pori-pori pada daun tersebut (Asdak, dalam Binsasi, dkk., 2016). Proses transpirasi dipengaruhi banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi besar kecilnya daun, tebal tipisnya daun, berlapis lilin atau tidaknya permukaan daun, banyak sedikitnya bulu pada permukaan daun, banyak sedikitnya stomata, bentuk, dan letak stomata. Adapun faktor eksternal meliputi temperatur, cahaya, temperatur, dan kecepatan angin (Salisbury & Ross, dalam Binsasi, dkk., 2016).
    Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan sebuah praktikum untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap laju transpirasi tumbuhan.
I.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum, antara lain:
  1. Untuk menggambarkan tempat berlangsungnya transpirasi pada tanaman dan bagian-bagian sel yang berperan pada proses terjadinya transpirasi.
  2. Untuk menghubungkan pengaruh transpirasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
  3. Untuk menghubungkan pengaruh faktor lingkungan terhadap laju transpirasi.
I.3 Waktu dan Tempat Praktikum
    Praktikum dilaksanakan pada hari --------------- pukul 14.00 – 17.00 WITA bertempat di Laboratorium Botani, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Umum
    John Hanks, seorang ahli ilmu tanah dari Utah State University, melakukan penelitian pada musim panas tahun 1980 tentang jumlah air yang dibutuhkan untuk menumbuhkan sebatang tanaman bit-gula di kebun Greenville milik universitas. Hasil dari penelitian yang dilakukannya mendapatkan bahwa sampai tanaman tersebut dewasa, air setara 620 mm hujan perlu ditambahkan ke kebun itu. Kira-kira seperempat bagiannya diuapkan langsung dari tanah, tapi 465 sisanya sebagian besar lebih dahulu melewati tanaman, baru kemudian ke atmosfer. Peristiwa penguapan air ini disebut transpirasi. Pada tumbuhan, peristiwa itu biasanya berhubungan dengan kehilangan air melalui stomata, kutikula atau lentisel (Salisbury dan Cleon, 1995).
    Menurut Campbell, dkk. (2010), jika sebagian besar stomata tetap terbuka, transpirasi paling banyak terjadi pada hari yang cerah, hangat, kering dan berangin karena faktor-faktor lingkungan ini meningkatkan evaporasi. Jika transpirasi tidak dapat menarik cukup air ke daun, tunas menjadi agak layu saat sel-sel kehilangan turgor. Walaupun tumbuhan merespons tekanan kekeringan ringan semacam itu dengan penutupan stomata secara cepat, sejumlah kehilangan air evaporatif tetap terjadi melalui kutikula. Namun, Chavarria dan Henrique (2012) menyebutkan bahwa lapisan kutikula yang terdapat pada daun menjadi semacam barrier terhadap keluarnya uap air sehingga berpindahnya uap air dari ruang interselular menuju atmosfir secara dominan adalah melalui difusi stomata.
    Sekitar 90% dari volume air yang diserap oleh tumbuhan dilepaskan melalui proses transpirasi. Transpirasi memiliki beberapa dampak positif namun adanya proses ini dapat menyebabkan stres air pada tumbuhan ketika tanah dalam kondisi kering (Chavarria dan Henrique, 2012). Kondisi kering akan menyebab-kan proses pertukaran gas yang terjadi di dalam daun berkurang. Hal ini berdampak pada menurunnya akumulasi biomassa dan produksi tanaman. Hadirnya genotipik tertentu pada tumbuhan memungkinkan berlangsungnya proses transpirasi hingga didapatkannya kondisi tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan (Heinemann, dkk., 2011).

II.2 Stomata dalam Laju Transpirasi
    Daun merupakan organ pokok pada tubuh tumbuhan. Pada umumnya memiliki bentuk berupa pipih bilateral, berwarna hijau dan merupakan tempat utama terjadinya fotosintesis. Berkaitan dengan itu, daun memiliki struktur mulut daun, yakni stomata, di mana struktur ini berguna dalam proses pertukaran gas oksigen (O2), karbon dioksida (CO2) dan uap air dari daun ke alam sekitar dan sebaliknya (Sumardi, dalam Papuangan, dkk., 2014).
    Laju transpirasi dan menutup dan membukanya stomata merupakan faktor yang sangat berkaitan dengan pertukaran gas, yakni dalam proses fotosintesis (Endres et. al., dalam Sarawa, dkk., 2014). Area permukaan yang luas dan rasio permukaan terhadap volume yang tinggi meningkatkan laju fotosintesis, namun hal tersebut juga meningkatkan kehilangan air. Berdasarkan hal tersebut, kebutuhan tumbuhan terhadap air yang sangat banyak merupakan konsekuensi negatif dari kebutuhan sistem tunas untuk melaksanakan pertukaran gas dalam jumlah yang cukup untuk fotosintesis. Oleh karena dengan adanya mekanisme membuka dan menutupnya stomata, sel-sel penjaga dapat menyeimbangkan kebutuhan tumbuhan untuk menyimpan air (Campbell, dkk., 2008).
    Banyaknya jumlah daun maka makin banyak jumlah stomata sehingga makin besar transpirasinya. Selain itu, distribusi stomata sangat berhubungan dengan kecepatan dan intensitas transpirasi pada daun, yaitu letak satu sama lain dengan jarak tertentu dalam batas tertentu. Jika lubang stomata terlalu berdekatan, maka penguapan dari lubang yang satu akan menghambat penguapan lubang dekatnya (Hariyanti, dalam Papuangan, dkk., 2014).
    Sekitar 95% air yang hilang dari tumbuhan lolos melalui stomata, walaupun pori-pori ini hanya menempati 1-2% dari permukaan eksternal daun. Kutikula berlilin membatasi kehilangan air melalui permukaan daun yang lain. Ketika sel-sel penjaga mengambil air dari sel-sel tetangga melalui osmosis, sel-sel penjaga menjadi lebih turgid. Pada sebagian besar spesies angiosperma, dinding sel dari sel-sel penjaga memiliki ketebalan yang tidak merata dan mikrofibril-mikrofibril selulosa terorientasi dengan arah yang menyebabkan sel-sel penjaga melengkung ke luar saat turgid. Pelengkungan ke luar ini memperbesar ukuran pori-pori di antara sel-sel penjaga. Ketika sel-sel kehilangan air dan menjadi flasid, mereka menjadi kurang melengkung dan pori-pori pun akan menutup sehingga menghentikan laju transpirasi (Campbell, dkk., 2008).

II.3 Faktor yang Mempengaruhi Laju Transpirasi
    Transpirasi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal atau faktor dalam meliputi besar kecilnya daun, tebal tipisnya daun, berlapis lilin atau tidaknya permukaan daun, banyak sedikitnya bulu pada permukaan daun, banyak sedikitnya stomata, bentuk dan letak stomata. Sedangkan faktor eksternal atau faktor luar meliputi kelembapan, suhu, cahaya dan angin (Papuangan, dkk., 2014).
II.3.1 Kelembapan
    Laju transpirasi dipengaruhi oleh kelembapan udara. Jika kelembapan udara rendah maka transpirasi akan meningkat. Hal ini memacu akar untuk menyerap lebih banyak air dan mineral dari dalam tanah (Rachmawati, dalam Raharjeng, 2015). Selain itu, menurut Prijono dan Teguh (2016), kadar lengas tanah merupakan karakter tanah yang juga diduga berpengaruh terhadap laju transpirasi, di mana semakin tinggi kadar lengas tanah maka semakin besar volume air yang diabsorbsi dan ditranspirasi oleh tamanan. Pendapat ini didukung oleh pernyataan di mana lengas tanah dan distribusi lengas tanah berpengaruh terhadap transpirasi. Pada saat tanah mulai mengering maka laju transpirasi akan berkurang sebagai fungsi dari lengas tanah.
II.3.2 Suhu dan Cahaya
    Menurut Ariffin, dalam Nurkhasanah, dkk. (2013), suhu udara merupakan faktor lingkungan yang mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap laju transpirasi dan evaporasi, yakni semakin tinggi suhu udara maka laju transpirasi dan laju evaporasi semakin tinggi juga. Mekanisme proses transpirasi dan evaporasi berfungsi untuk menjaga keseimbangan suhu di dalam tubuh tanaman sehingga aktifitas enzimatis pada proses biokimia dalam rangkaian fotosintesis dapat berjalan normal. Hal ini sejalan dengan pendapat Lakitan (2010) bahwa transpirasi merupakan suatu proses pendinginan (seperti halnya juga evaporasi). Pada siang hari, radiasi matahari yang diserap daun akan meningkatkan suhu daun. Jika transpirasi berlangsung, maka peningkatan suhu daun ini dapat dihindari. Jika transpirasi tidak berlangsung, maka pelepasan panas dilakukan secara konduksi. Akan tetapi, kehilangan panas secara konduksi ini hanya akan berlangsung jika suhu daun lebih tinggi dari suhu udara di lingkungannya.
II.3.3 Kecepatan Angin
    Kecepatan angin adalah cepat lambatnya angin bertiup pada suatu tempat. Udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Pergantian udara jenuh dengan uap air dan udara yang lebih kering sangat bergantung pada kecepatan angin. Jika air menguap ke atmosfer maka lapisan atas antara permukaan tanah dan udara menjadi jenuh oleh penguapan air sehingga proses penguapan akan terhenti. Agar proses dapat berjalan terus, maka lapisan jenuh harus diganti dengan udara kering. Pergantian tersebut hanya mungkin jika ada angin yang menggeser uap air (Nurhayati dan Jamrud, 2016).

II.4 Evaporasi dan Evapotranspirasi
    Evaporasi merupakan proses penguapan yang terjadi melalui permukaan air, tanah dan vegetasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan memberikan laju evaporasi lebih tinggi daripada bidang permukaan yang rata. Makin tinggi suhu udara di atas permukaan bidang penguapan, makin mudah terjadi perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Proses evaporasi tergantung pada defisit saturasi di udara atau jumlah uap air yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Merujuk pada hal tersebut, evaporasi lebih banyak terjadi pada daerah di mana kondisi udara cenderung lebih kering dari pada daerah dengan kondisi yang lembab (Salisbury dan Cleon, 1995).
leaf evaporation
    Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Air dapat menguap melalui permukaan bumi (evaporasi) maupun melalui daun-daun tanaman (transpirasi). Bila kedua proses penguapan tersebut terjadi bersama-sama, disebut proses evapotranspirasi, maka besar kebutuhan air tanaman adalah sebesar jumlah air yang hilang akibat proses tersebut (Nadjamuddin, dkk., 2014).
    Evapotranspirasi merupakan keseluruhan jumlah air yang berasal dari permukaan tanah, air dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer disebabkan karena adanya pengaruh dari faktor-faktor iklim (eksternal) dan fisiologi (internal) vegetasi (Asdak, dalam Binsasi, dkk., 2016).). Semakin besar kecepatan angin, maka semakin besar pula laju evapotranspirasi dapat terjadi. Kelembaban tanah juga berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi. Ahli Fisiologi tanaman mengemukakan bahwa evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi sedang tidak kekurangan suplai air (Penman, dalam Binsasi, dkk., 2016).
    Evapotranspirasi terjadi pada pagi, siang dan sore hari di mana tersedia cukup energi radiasi matahari untuk mengubah air yang terkandung di dalam vegetasi dan lapisan tanah menjadi uap air. Perubahan kecepatan angin dan suhu yang diukur di atas vegetasi berpengaruh terhadap nilai evapotranspirasi total. Suhu tinggi terjadi pada tengah hari sedangkan suhu rendah terjadi pada tengah malam hingga menjelang pagi hari (Yanto, 2011).

II.5 Peranan Transpirasi
    Menurut Jasechko dkk., dalam Schymanski dan Or (2015), 60 hingga 90% fluks panas laten di darat dan separuh dari energi matahari yang diserap oleh permukaan daratan dapat dikaitkan dengan transpirasi. Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Pieruschka, dkk. (2010) bahwa transpirasi, evaporasi dari daun tumbuhan, memiliki sebuah peran penting dalam menjaga keseimbangan energi dan air dan permukaan tanah. Peran ini merupakan inti proses dalam siklus hidrologi. Selain itu, karena penyerapan CO2 dan proses transpirasi keduanya dikendalikan oleh stomata, maka hal ini sangat terkait dengan produktivitas tanaman.
    Transpirasi pada tanaman pada hakekatnya merupakan peristiwa penguapan air yang baru di mana dalam proses tersebut garam-garam mineral terbawa dari dalam tanah. Transpirasi bermanfaat di dalam hubungan penggunaan sinar (panas) matahari. Kenaikan temperatur yang membahayakan dapat dicegah karena sebagian dari sinar matahari yang memancar itu digunakan untuk penguapan air (Dwijoseputro, dalam Papuangan, dkk., 2014). Selain itu, melalui proses transpirasi, tanaman juga akan terus mendapatkan air yang cukup untuk melakukan reaksi metabolisme, yakni fotosintesis, agar keberlangsungan hidup tanaman dapat terus terjamin (Imiliyana, dalam Papuangan, dkk., 2014).
    Menurut Tibbitts, dalam Salisbury dan Cleon (1995), transpirasi dapat membantu penyerapan mineral dari tanah dan pengangkutannya dalam tumbuhan. Kalsium dan boron di jaringan tampak sangat peka terhadap laju transpirasi. Tumbuhan yang ditanam di rumah kaca yang berkelembapan tinggi dan udara yang diperkaya dengan CO2 dapat menampakkan kadar kalsium di jaringan tertentu. Sebaliknya, laju transpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan beberapa unsur tertentu meningkat hingga mencapai jumlah yang meracuni.

BAB III
METODE PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
    Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah erlenmeyer 500 ml, sumbat tabung, pipa gelas, karet, silet, stopwatch, kipas angin, kantung plastik, kertas grafik, dan pensil warna.
III.1.2 Bahan
    Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah batang tanaman berdaun angsana Pterocarpus integra, air, dan reagen methylene blue.
III.2 Tahapan Kerja
Adapun tahapan kerja praktikum adalah sebagai berikut:
  1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum.
  2. Dimasukkan air ke dalam erlenmeyer dan diberi reagen methylene blue agar mudah diamati.
  3. Erlenmeyer ditutup menggunakan sumbat tabung dan dimasukkan pipa gelas serta batang tumbuhan melalui lubang sumbat tabung.
  4. Dibuat rangkaian alat yang sama dan dilakukan pula pengamatan di bawah sinar matahari.
  5. Dipasangkan kipas angin mengarah pada sampel dan dicatat kedudukan air seperti pada langkah 4.
  6. Sampel praktikum ditutupi dengan kantung plastik dan diikat menggunakan karet kemudian dicatat kedudukan air seperti pada langkah 4.
  7. Dibuat grafik berdasarkan data yang diperoleh.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
IV.1.1 Rangkaian Alat
a. Perlakuan I: Kontrol

b. Perlakuan II: Cahaya

c. Perlakuan III: Angin

d. Perlakuan IV: Kelembapan

IV.1.2 Hasil Pengamatan Stomata

IV.1.3 Tabel Hasil Pengamatan

IV.1.4 Grafik Hasil Pengamatan

IV.2 Pembahasan
    Praktikum dilakukan dengan menggunakan sampel berupa batang tanaman berdaun angsana Pterocarpus integra. Rangkaian alat dibuat dengan beberapa perlakuan, yakni: a) rangkaian alat kontrol tidak diberi perlakuan khusus; b) rangkaian alat pengaruh cahaya diletakkan di bawah sinar matahari; c) rangkaian alat pengaruh kelembaban menggunakan kantung plastik untuk menutupi sampel angsana Pterocarpus integra, dan d) untuk mengetahui pengaruh angin, rangkaian alat diletakkan di depan kipas angin yang menyala. Pengamatan lalu dilakukan dengan mencatat kedudukan air pada pipet gelas setiap 3 menit hingga 5 kali pencatatan. Hasil pencatatan dimasukkan ke dalam tabel untuk kemudian hasil dibuat dalam bentuk grafik.
    Serangkaian prosedur praktikum dilakukan hingga diperoleh nilai kontrol untuk 5 kali pencatatan secara berturut-turut adalah 0, 0.02, 0.04, 0.06, dan 0.08. Perlakuan berupa cahaya memperoleh nilai 0, 0.36, 0.38, 0.66, dan 0.68. Perlakuan berupa angin nilainya adalah 0.01, 0.03, 0.05, 0.07, dan 0.08. Sedangkan untuk perlakuan berupa kelembapan, diperoleh nilai 0.02, 0.04, 0.06, 0.08, dan 0,1. Data kemudian dimasukan ke dalam bentuk grafik dan tampak bahwa garis kontrol, angin dan kelembapan memiliki perbedaan yang tidak jauh berbeda. Namun untuk nilai cahaya, garis berada jauh di atas garis perlakuan lainnya.
    Rangkaian alat berupa kontrol tidak diberikan perlakuan khusus karena akan dijadikan sebagai pembanding terhadap rangkaian alat lainnya. Nilai konstan hasil pengamatan rangkaian alat kontrol membuktikan adanya proses transpirasi yang terjadi yang dipengaruhi oleh kondisi normal daerah pengamatan. Adapun nilai yang tak jauh berbeda dapat dilihat pada nilai perlakuan angin dan kelembapan.
    Berdasarkan pada literatur, telah diketahui bahwa laju transpirasi dipengaruhi oleh adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari kondisi fisiologis tumbuhan. Adapun faktor eksternal berasal dari luar tubuh tumbuhan, meliputi cahaya, kelembapan dan kecepatan angin.
    Angin dan kelembapan memiliki kaitan satu sama lain dalam memberi pengaruh terhadap laju transpirasi, di mana angin membawa pergi uap air yang berada di udara maupun yang terakumulasi di permukaan epidermsi sekitar stomata. Hal tersebut menyebabkan jumlah kandungan uap air dalam udara yang menjadi satuan kelembapan udara menurun. Tumbuhan akan merespon kondisi kelembapan udara yang menurun dengan meningkatkan laju pelepasan uap air ke udara (transpirasi) guna mengembalikan kondisi kelembapan yang optimal.
    Hasil yang signifikan dapat dilihat pada nilai laju transpirasi akibat pengaruh cahaya. Cahaya merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi laju transpirasi melalui mekanisme penyerapan energi radiasi oleh stomata sehingga menyebabkan pembukaan stomata. Pembukaan stomata akan memberi jalur bagi uap air untuk lepas ke udara sehingga laju transpirasi akan meningkat. Pengaruh cahaya ini ternyata memberikan pengaruh terbesar bagi tumbuhan dibanding pengaruh eksternal lainnya.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
    Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum yang telah dilakukan, antara lain:
  1. Transpirasi terjadi di setiap bagian tubuh tumbuhan, namun sebagian besar proses ini terjadi di daun dikarenakan umumnya memiliki luas permukaan terbesar dibandingkan bagian tumbuhan lainnya. Adapun evaporasi yang menyebabkan jenuhnya ruang antar sel terhadap uap air akan berakhir pada keluarnya uap air melalui lubang stomata.
  2. Transpirasi berperan dalam pengaturan suhu daun demi terlaksananya proses metabolisme, pembawaan air dan zat hara dari tanah serta pengoptimalan kandungan air.
  3. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap fotosintesis di antaranya adalah cahaya yang merangsang pembukaan stomata, angin yang membawa uap air di lingkungan dan kelembapan udara yang menyatakan jumlah uap air dalam udara.
V.2 Saran
    Sebaiknya kegiatan respon tulis dapat diusahakan menjadi lebih efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA


Binsasi, R., R.P. Sancayaningsih dan S.H. Murti, 2016. Evaporasi dan Transpirasi Tiga Spesies Dominan dalam Konservasi Air di Daerah Tangkapan Air (DTA) Mata Air Geger Kabupaten Bantul Yogyakarta. Bio – Edu : Jurnal Pendidikan Biologi. Vol.1(3):32-34

Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V. Minorsky dan R.B. Jackson, 2008. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.

Chavarria, G. dan H.P.D. Santos, 2012. Advances in Selected Plant Physiology Aspects. InTech, Croatia.

Heinemann, A.B., L.F. Stone dan N.K. Fageria, 2011. Transpiration Rate Response to Water Deficit during Vegetative and Reproductive Phases of Upland Rice Cultivars. Journal of Science and Agriculture. Vol.68(1):2430.

Lakitan, B., 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers, Jakarta.

Nadjamuddin, D.F., W. Soetopo dan M. Sholichin, 2014. Rencana Penjadwalan Pembagian Air Irigasi Daerah Irigasi Paguyaman Kanan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Teknik Pengairan. Vol.5(2):158-165.

Nurhayati dan J. Amiruddin, 2016. Pengaruh Kecepatan Angin Terhadap Evapotranspirasi Berdasarakan Metode Penman di Kebun Stroberi Purbalingga. Elkawnie: Journal of Islamic Science and Technology. Vol.2(1):21-28.

Nurkhasanah, N., K.P. Wicaksono dan E. Widaryanto, 2013. Studi Pemberian Air dan Tingkat Naungan Terhadap Pertumbuhan Bibit Tanaman Cabe Jamu (Piper retrofractum Vahl.). Jurnal Produksi Tanaman. Vol.1(4):325-332.

Papuangan, N., Nurhasanah dan M. Djurumudi, 2014. Jumlah dan Distrubusi Stomata pada Tanaman Penghijauan di Kota Ternate. Jurnal Bioedukasi. Vol.3(1):287-292.

Pieruschka, R., G. Huber dan J.A. Berry, 2010. Control of Transpiration by Radiation. PNAS. Vol.107(30):372-377.

Prijono, S. dan M.T.S. Laksmana, 2016. Studi Laju Transpirasi Peltophorum dassyrachis dan Gliricidia sepium pada Sistem Budidaya Tanaman Pagar serta Pengaruhnya Terhadap Konduktivitas Hidrolik Tidak Jenuh. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. Vol.7(1): 15-24.

Raharjeng, A.R.P., 2015. Pengaruh Faktor Abiotik Terhadap Hubungan Kekerabatan Tanaman Sansevieria trifasciata L.. Jurnal Biota. Vol.1(1):33-41.

Sarawa, M.J. Arma dan M. Mattola, 2014. Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) pada Berbagai Interval Penyiraman dan Takaran Pupuk Kandang. Jurnal Agroteknos. Vol.4(2):28-86.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Penerbit ITB, Bandung.

Schymanski, S.J. dan D. Or, 2015. Wind Effects on Leaf Transpiration Challenge the Concept of Potential Evaporation. Proc. IAHS. Vol.371(1):99-107.

Yanto, 2011. Model Evapotranspirasi pada Vegetasi dengan Ketebalan Kanopi yang Bervariasi. Dinamika Rekayasa. Vol.7(1):17-22.



Tidak untuk disalin! 
Artikel ini dibagikan untuk memberi contoh dan menginspirasi:)

0 Comment:

Post a Comment

/>