Laporan Praktikum Biokimia Dasar: Kesegaran Susu

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
    Susu merupakan cairan yang berasal dari ambing ternak perah sehat dan bersih. Diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan yang berlaku (Meutia dkk., 2016). Susu sangat penting untuk mendorong pertumbuhan tubuh sejak kecil sampai dewasa. Di lain pihak susu merupakan bahan pangan yang mudah sekali rusak dan dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia bilamana tidak mendapatkan penanganan khusus dan kurang higienis. Menurut SNI No. 3144.1 Tahun 2011 tentang syarat mutu susu segar, susu segar yang baik untuk dikonsumsi harus memenuhi persyaratan dalam hal kandungan gizi dan juga keamanan pangan. Upaya memperoleh susu segar yang baik dapat dilakukan dengan usaha memperkecil jumlah bakteri yang ada pada susu. Pengujian mutu susu sangat penting untuk dilakukan guna menghindari pemalsuan atau sebab lain yang mengakibatkan susu segar tidak lagi seperti aslinya (Nafyanti dan Ariyani, 2015). Menurut Budiyono (2009), penyimpanan susu pada suhu yang tidak sesuai dapat menyebabkan kontaminasi bakteri.
    Pada tahun 1902, Schardinger menemukan bahwa susu mengandung enzim yang mampu mengoksidasi aldehida menjadi asam, disertai dengan reduksi dari metilen biru. Enzim ini dikenal sebagai enzim Schardinger (Kostić dkk., 2015). Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukanlah percobaan penetapan kesegaran susu untuk mengetahui pengaruh pemanasan dan penambahan formaldehid pada kesegaran susu.
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
    Maksud dari percobaan ini adalah mempelajari dan mengetahui cara penetapan kesegaran susu dengan menggunakan uji metilen biru sebagai indikator.
1.2.2 Tujuan Percobaan
  1. Menentukan pengaruh pemanasan terhadap kesegaran susu.
  2. Menentukan pengaruh penambahan formaldehid terhadap kesegaran susu.
1.3 Prinsip Percobaan
    Penetapan kesegaran susu berdasarkan enzim Schardinger yang terdapat dalam susu yang mengkatalisis oksidasi formaldehid menjadi asam-asam dalam suasana anaerob yang terlihat dari perubahan warna dari biru karena penambahan metilen biru sehingga menjadi warna putih.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

    Susu sangat baik bagi kesehatan karena mengandung banyak vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Susu dapat dikonsumsi baik dalam bentuk susu segar maupun dalam bentuk susu olahan (Oka dkk., 2017). Menurut Nafyanti dan Ariyani (2015), susu merupakan bahan pangan yang mengandung kalori 66 kkal, protein 3,2 g, lemak 3,7 g, laktosa 4,6 g, zat besi 0,1 mg, kalsium 120 mg, dan vitamin A 100 IU. Susu sangat penting untuk mendorong pertumbuhan tubuh sejak kecil sampai dewasa. Di lain pihak susu merupakan bahan pangan yang mudah sekali rusak dan dapat menjadi sumber penyakit bagi manusia bilamana tidak mendapatkan penanganan khusus dan kurang higienis.
    Menurut Pramesthi dkk., (2015), kendala susu sebagai salah satu produk peternakan yang mempunyai nilai gizi tinggi adalah mudah rusak. Penyebab kerusakan susu di antaranya adalah kontaminasi mikroba. Pencemaran susu sapi oleh bakteri dapat terjadi dari luar lingkungan dan dalam ternak itu sendiri. Bakteri yang berada di luar tubuh sapi dapat masuk melalui teat meatus yang masih terbuka sesaat setelah pemerahan, sehingga bakteri mudah masuk ke dalam ambing dan mencemari susu.
    Secara alamiah susu mengandung bakteri (terkontaminasi dari sumbernya: puting, ambing dan rambut). Jika susu tidak ditangani secara tepat, maka akan menimbulkan kondisi di mana jumlah bakteri dalam susu dapat berkembang dengan cepat. Mikroorganisme lainnya akan masuk ke dalam susu selama proses pemerahan, transportasi dan penyimpanan, jika peralatan yang digunakan sepanjang ketiga proses dimaksud tidak bersih, terjaga dan steril. Pada satu sisi, dengan kandungan gizi yang lengkap menempatkan susu sebagai pangan bernilai tinggi. Di sisi lain, dengan kandungan gizi yang lengkap, susu juga menjadi media tumbuh paling baik bagi perkembangbiakan mikroorganisma yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia (Budiyono, 2009).
    AAK (1995) menyatakan bahwa susu segar adalah air susu hasil pemerahan yang tidak dikurangi maupun ditambahkan bahan apapun yang diperoleh dari pemerahan sapi yang sehat. Kriteria air susu sapi yang baik setidaknya memenuhi hal-hal sebagai berikut: bebas dari bakteri patogen (bakteri penyebab penyakit); bebas dari zat-zat yang berbahaya ataupun toksik seperti insektisida; tidak tercemar oleh debu dan kotoran; zat gizi yang tidak menyimpang dari codex air susu, dan memiliki cita rasa normal. Menurut Hamidah dkk (2012), pecahnya susu menyebabkan kualitas susu rendah sehingga tidak layak dikomsumsi, karena adanya kemungkinan bahwa kadar asam yang terkandung dalam susu menjadi tinggi. Apabila susu ini kemudian dikomsumsi, maka kemungkinan akan dapat menyebabkan terjadinya milk borne disease, yakni penyakit yang disebabkan oleh tertelannya agen penyakit melalui air susu.
    Enzim adalah sebuah biomolekul yang berupa protein dan berbentuk bulat. Enzim terdiri dari satu atau lebih rantai polipeptida. Enzim ini akan mengubah senyawa dan mempercepat proses reaksi dengan mengubah molekul awal yang dikenali dan diikat secara spesifik oleh enzim (substrat) menjadi molekul lain (produk). Kemampuan enzim untuk mengaktifkan senyawa lain dengan cara spesifik disebut dengan biokatalisator (Campbell dkk., 2010).
    Susu segar sangat rentan sekali rusak, baik dalam fisiologi, kimiawi dan mikrobiologi. Koagulasi kimiawi disebabkan karena susu segar banyak mengandung protein, dimana sifat protein mudah terdenaturasi oleh panas. Koagulasi mikrobiolologi disebabkan karena didalam susu segar terdapat bakteri patogen dan bakteri pembusuk yang merupakan sumber makanan yang sangat kompleks bagi mikroorganisme (Rizal dkk., 2016).
    Menurut Sasongko dkk (2012), jumlah bakteri dalam susu akan berpengaruh terhadap pH susu. Semakin banyak bakteri yang mencemari susu maka kualitas susu akan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan nilai pH susu menuju ke arah asam. Meningkatnya keasaman susu disebabkan karena sebagian laktosa akan diubah menjadi asam laktat dan asam organik lain oleh mikroba. Kisaran pH susu segar adalah 6,5 - 6,7 dan bila terjadi banyak pengasaman oleh aktivitas bakteri, maka angka tersebut akan menurun.
    Schardinger pada tahun 1902 menemukan suatu enzim yang terdapat di dalam susu. Enzim ini mengkatalisis hilangnya warna metilen biru oleh formaldehida. Enzim ini kemudian dikenal sebagai xantin oksidase. Penelitian menunjukkan bahwa besar kandungan rata-rata xantin oksidase (enzim Schardinger) di dalam susu adalah 120 mg per liter (McKenzie, 1971). Enzim ini mampu mengkatalisis oksidasi purin, pterin dan aldehida dengan menggunakan NAD+ atau NADP+ sebagai akseptor elektron dan juga mengoksidasi xantin menggunakan oksigen (xanthine oxidaze) (Wang dkk., 2016).
    Xantin oksidase, dikenal pula sebagai enzim Schardinger, terkandung dalam susu dalam jumlah yang besar. Xantin oksidase menggunakan molekul oksigen untuk mengoksidasi berbagai jenis purin, pteridin dan aldehida. Proses oksidasi ini akan membentuk H2O2. Enzim ini mengoksidasi hipoxantin menjadi xantin dan pada tahap selanjutnya xantin akan dioksidasi membentuk asam urat (Garret dan Grisham, 2010).

BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Bahan Percobaan
    Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah susu segar, metilen biru 0,02%, formaldehid 0,5%, vaselin, akuades, sabun cair, dan tisu gulung.
3.2 Alat Percobaan
    Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah tabung Thunberg, rak tabung reaksi, pipet tetes, gelas kimia 500 mL, inkubator, vortex, dan hotplate.
3.3 Prosedur Percobaan
    Tiga tabung Thunberg diisi dengan 3 mL susu segar. Khusus untuk tabung I dipanaskan selama 1 menit. Selanjutnya, masing-masing tabung ditambahkan 3 tetes metilen biru 0,02%, lalu dihomogenkan menggunakan mesin vortex. Kemudian tabung I dan tabung II ditambahkan 0,5 mL formaldehid 0,5% ke bagian dalam tutup tabung Thunberg, sedangkan tabung III dipipet 0,5 mL akuades. Sebelum tabung Thunberg ditutup, dinding tutup tabung diolesi dengan vaselin. Setelah itu, ketiga tabung divakumkan dengan cara menghirup udara yang ada di dalam tabung sementara tutupnya diputar. Kemudian setelah divakumkan, ketiga tabung ditempatkan di dalam inkubator dengan suhu 40 °C selama 5 menit. Kemudian campurkan isi tabung dengan isi yang berada di dalam tutup tabung. Lalu dimasukkan kembali ke dalam inkubator pada suhu yang sama. Perubahan warna yang terjadi diamati setiap 5 menit selama 40 menit untuk setiap tabung.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan
            Tabel 1. Data Pengamatan Penetapan Kesegaran Susu
Waktu (menit)
Tabung
I
II
III
0
+++
+++
+++
5
+++
+++
+++
10
+++
+++
+++
15
+++
+++
+++
20
+++
++
+++
25
+++
++
+++
30
+++
++
+++
35
+++
++
+++
40
+++
++
+++

Keterangan:
++++ = Biru pekat
+++   = Biru
++     = Biru muda
+       = Putih

4.2 Reaksi

4.3 Pembahasan
    Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemanasan dan penambahan formaldehid terhadap kesegaran susu. Dalam prosedur, digunakan tiga tabung Thunberg. Masing-masing tabung diisi 3 mL susu segar dan khusus tabung I dipanaskan terlebih dahulu untuk mengamati pengaruh pemanasan terhadap keaktifan enzim, lalu ditambahkan metilen biru 0,02% pada masing-masing tabung. Pada tabung I dan II, tutupnya diisi larutan formaldehid (sebagai substrat) sedangkan pada tabung III diisi akuades. Perbedaan perlakuan ini bertujuan untuk membandingkan kerja enzim pada substrat yang berbeda. Selanjutnya, ketiga tabung divakumkan untuk menghilangkan udara pada tabung dengan cara menghisap udara dalam tabung. Tabung perlu divakumkan karena enzim Schardinger dalam susu bekerja pada suasana anaerob. Adapun pengolesan vaselin pada permukaan luar dinding tabung dilakukan untuk memudahkan dalam membuka tutup tubung. Selanjutnya, tabung yang telah tertutup dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 40 °C agar suasana dalam ketiga tabung sama pada suhu di mana enzim bekerja. Setelah 5 menit, tabung dikeluarkan lalu larutan dalam tabung dengan larutan dalam tutup dicampurkan. Selanjutnya dimasukkan kembali ke dalam inkubator dan dicatat perubahan warna setiap 5 menit selama 40 menit.
    Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh bahwa dari ketiga tabung, yang mengalami perubahan adalah tabung II, yakni tabung yang diberi perlakuan berupa pemberian formaldehid. Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat enzim Schardinger yang mengoksidasi formaldehid menjadi asam karboksilat. Suasana asam akan mereduksi metilen biru yang merupakan akseptor hidrogen sehingga warna biru memudar. Hal ini telah sesuai dengan teori bahwa Schardinger menemukan suatu enzim yang terdapat di dalam susu di mana enzim ini mengkatalisis hilangnya warna metilen biru oleh formaldehida (McKenzie, 1971). Sedangkan pada tabung I, tidak terjadi perubahan apapun. Ini dikarenakan perlakuan berupa pemanasan yang diberikan sebelum diberi formaldehid menyebabkan enzim Schardinger dalam susu mengalami denaturasi sehingga tak dapat mengoksidasi aldehid dalam formaldehid. Adapun pada tabung III juga tak tampak perubahan yang terjadi karena tidak adanya substrat (formaldehid) yang bereaksi dengan enzim.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
  1. Pemanasan yang tinggi dapat menyebabkan denaturasi pada enzim Schardinger dalam susu sehingga tidak lagi aktif atau rusak.
  2. Formaldehid sebagai substrat akan dioksidasi oleh enzim Schardinger dalam susu sehingga terjadi reduksi pada metilen biru.
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk Laboratorium
    Sebaiknya dapat dilakukan pengecekan berkala dan pelengkapan maupun perbaikan terhadap fasilitas yang rusak.
5.2.2 Saran untuk Percobaan
    Sebaiknya digunakan sampel susu dari dua atau lebih sumber yang berbeda agar dapat dilakukan perbandingan.

DAFTAR PUSTAKA


AAK, 1995, Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Budiyono, H., 2009, Analisis Daya Simpan Produk Susu Pasteurisasi Berdasarkan Kualiats Bahan Baku Mutu Susu, Jurnal Paradigma, 10(2): 198-211.

Campbell, N.A., Reece, J.B., Urry, L.A., Cain, M.L., Wasserman, S.A., Minorsky, P.V., dan Jackson, R.B., 2010, Biologi, Jilid 2, Edisi 8, Terjemahan oleh Damaring Tyas Wulandari, Erlangga, Jakarta.

Garret, R.H., dan Grisham, C.M., 2010, Biochemistry, 4th Edition, Mary Finch, Boston.

Hamidah, E., Sukada, I.M., dan Swacita, I.B.N., 2012, Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing pada Penyimpanan Suhu Kamar, Indicus Medicus Veterinus, 1(3): 361-369.

Kostić, D.A., Dimitrijević, D.S., Stojanović, G.S., Palić, I.R., Dordević, A.S., dan Ickovski, J.D., 2015, Xanthine Oxidase: Isolation, Assays of Activity and Inhibition, Journal of Chemistry, 1(1): 1-8.

McKenzie, H.A., 1971, Milk Proteins: Chemistry and Molecular Biology, Academic Press, New York.

Meutia, N., Rizalsyah, T., Ridha, S., dan Sari, M.K., 2016, Residu Antibioka dalam Air Susu Segar yang Berasal dari Peternakan di Wilayah Aceh Besar, Jurnal Ilmu Ternak, 16(1): 1-5.

Navyanti, F., dan Adriyani, R., 2015, Higiene Sanitasi, Kualitas Fisik dan Bakteriologi Susu Sapi Segar Perusahaan Susu X di Surabaya, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 8(1): 36-47.

Oka, B., Wijaya, M., dan Kadirman, 2017, Karakterisasi Kimia Susu Sapi Perah di Kabupaten Sinjai, Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 3(1): 195-202.

Pramesthi, R., Suprayogi, T.H., dan Sudjatmogo, 2015, Total Bakteri dan pH Susu Segar Sapi Perah Riesian holstein di Unit Pelaksana Teknis Daerah dan Pembibitan Ternak Unggul Mulyorejo Tengaransemarang, Animal Agriculture Journal, 4(1): 69-74.

Rizal, M.S., Sumaryati, E., dan Suprihana, 2016, Pengaruh Waktu dan Suhu Sterilisasi terhadap Susu Sapi Rasa Coklat, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian AGRIKA, 10(1): 20-30.

Sasongko, D.A., Suprayogi, T.H., dan Sayuthi, S.M., 2012, Pengaruh Berbagai Konsentrasi Larutan Kaporit (CaHOCl) untuk Dipping Puting Susu Kambing Perah terhadap Total Bakteri dan pH Susu, Animal Agriculture Journal, 1(2): 93-99.
.
Wang, C.H., Zhang, C., dan Xing, X.H., 2016, Xanthine Dehydrogenase: An Old Enzyme with New Knowledge and Prospects, Bioengineered, 7(6): 395-405.


Tidak untuk disalin! 
Artikel ini dibagikan untuk memberi contoh dan menginspirasi:)

0 Comment:

Post a Comment

/>