BAB 1PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tumbuhan memperoleh nutrien-nutrien dari atmosfer maupun dari tanah (Campbell, dkk., 2008). Sebagian besar unsur yang dibutuhkan tanaman diserap dari larutan tanah melalui akar, kecuali karbon dan oksigen yang diserap dari udara oleh daun. Penyerapan unsur hara secara umum lebih lambat dibandingkan dengan penyerapan air oleh akar tanaman (Lakitan, 2010). Cahaya akan digunakan sebagai sumber energi dalam menghasilkan nutrien-nutrien organik dengan mereduksi karbon dioksida menjadi senyawa organik berupa gula melalui proses fotosintesis (Campbell, dkk., 2008).
Unsur hara akan diserap secara difusi jika konsentrasi di luar sitosol (pada dinding sel atau larutan tanah) lebih tinggi daripada konsentrasi di dalam sitosol (Lakitan, 2010). Difusi dapat didefinisikan sebagai perpindahan molekul dari daerah berkonsentrasi tinggi ke daerah berkonsentrasi rendah dikarenakan adanya energi kinetik (Kurt, dkk 2013). Proses difusi ini dapat berlangsung karena konsentrasi beberapa ion di dalam sitosol dipertahankan untuk tetap rendah. Ion-ion tersebut masuk ke dalam sitosol untuk segera dikonversi ke bentuk lainnya sehingga konsentrasi ion dalam sel dapat terpelihara (Lakitan, 2010).
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan sebuah praktikum untuk mengetahui bagaimana pengaruh osmotik konsentrasi garam hara terhadap absorpsi air dan pertumbuhan tanaman.
I.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum, antara lain:
- Untuk membedakan kebutuhan air dan unsur-unsur yang terlarut bagi pertumbuhan tanaman.
- Untuk menjabarkan hubungan air dari unsur-unsur yang terlarut terhadap pengaruh yang ditimbulkan untuk pertumbuhan tanaman.
I.3 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari ----------------- pukul 14.00 – 17.00 WITA bertempat di Laboratorium Botani, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
II.1 Unsur Esensial Tumbuhan
Akar merupakan organ vegetatif utama untuk pertumbuhan dan perkembangan. Ditinjau berdasarkan dari konsep keseimbangan fungsional, akar berperan dalam penyerapan unsur hara untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman (Amir, 2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan unsur hara adalah respirasi, konsentrasi unsur hara, kerapatan dan penyebaran akar, air, daya serap akar, pH tanah dan daya serap tanaman (Fajarditta, dkk., 2012).
Para ilmuwan melakukan penelitian untuk menentukan unsur-unsur kimiawi mana yang termasuk esensial bagi tumbuhan. Peneliti menggunatan teknik kultur hidroponik (hydroponic culture), yakni dengan menumbuhkan tanaman di dalam larutan mineral, bukan di dalam tanah. Hasil penelitian kemudian menunjukkan bahwa terdapat 17 unsur esensial yang dibutuhkan oleh semua tumbuhan (Campbell, dkk., 2008).
Menurut Lakitan (2010), suatu unsur dikatakan esensial apabila memenuhi kriteria berikut:
- Tumbuhan tidak dapat melengkapi daur hidupnya (sampai menghasilkan biji yang dapat tumbuh) apabila unsur tersebut tidak tersedia.
- Unsur tersebut merupakan suatu molekul atau bagian tumbuhan yang esensial bagi kelangsungan hidup tumbuhan tersebut. Misalnya N sebagai penyusun protein dan Mg sebagai penyusun klorofil.
Tabel II.1 Unsur-unsur esensial di dalam tumbuhan (Campbell, dkk., 2008)
Sembilan unsur esensial disebut makronutrien (macronutrient) karena tumbuhan memerlukan unsur-unsur tersebut dalam jumlah besar. Enam di antaranya adalah komponen utama senyawa-senyawa organik yang membentuk struktur tumbuhan, yakni karbon, oksigen, hidrogen, nitroger, fosfor, dan sulfur. Ketiga makronutrien yang lain adalah kalium, kalsium dan magnesium. Di antara semua nutrien mineral, nitrogen adalah penyumbang yang paling besar bagi pertumbuhan tumbuhan dan hasil panen. Tumbuhan memerlukan nitrogen sebagai komponen protein, asam nukleat, klorofil dan molekul-molekul organik penting lainnya (Campbell, dkk., 2008).
Delapan unsur esensial yang lain disebut mikronutrien (micronutrient) karena tumbuhan membutuhkan unsur-unsur tersebut dalam jumlah kecil. Mereka adalah klorin, besi, mangan, boron, seng, tembaga, nikel, dan molibdenum. Pada beberapa kasus, natrium mungkin merupakan mikronutrien esensial kesembilan, yakni bagi tumbuhan yang menggunakan jalur-jalur fotosintesis C3 dan CAM demi peregenerasial fosfoenolpiruvat (senyawa penerima CO2 pada kedua tipe fiksasi karbon ini) (Campbell, dkk., 2008).
Fungsi utama mikronutrien di dalam tumbuhan adalah sebagai kofaktor, yaitu pembantu nonprotein pada reaksi-reaksi enzimatik. Besi, misalnya, merupakan kompnen logam sitokrom, yaitu protein-protein yang terdapat dalam rantai transpor elektron kloroplas dan mitokondria. Tumbuhan memerlukan mikronutrien dalam jumlah kecil karena unsur tersebut umumnya memainkan peran-peran katalitik (Campbell, dkk., 2008). Pendapat tersebut selaras dengan pendapat Kloepper, dalam Asngad (2013) bahwa hara mikro adalah elemen penting untuk pertumbuhan tanaman, tapi dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit dibandingkan dengan nutrisi primer. Unsur tersebut berfungsi sebagai kofaktor enzimatik, hal ini karena mikronutrien umumnya memainkan peranan katalitik yang hanya dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah yang kecil.
Menurut Redaksi Agromedia, dalam Rumbarak, dkk. (2017), di antara 13 unsur hara yang ada, unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara pokok yang mutlak dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Suriatna, dalam Satria, dkk. (2015), bahwa unsur hara makro seperti N, P, K, dan unsur mikro merupakan unsur utama bagi pertumbuhan tanaman, apabila tanaman kekurangan unsur tersebut maka pertumbuhan akan terhambat. Rosmarkan dan Yuwono, dalam Rumbarak, dkk. (2017) juga menyatakan bahwa dengan penambahan unsur hara khususnya unsur fosfor (P) dapat membantu mempercepat proses pembungaan tanaman. Buckman dan Brady, dalam Fajarditta, dkk. (2012) pun menambahkan bahwa unsur P berperan dalam merangsang pertumbuhan akar lateral dan akar halus berserabut. Selain itu, dengan didukung unsur nitrogen (N) serta serat kalium (K) dapat mempercepat masuknya fase produktif pada tanaman. Menurut Matana dan Mashud (2015), kalium juga termasuk salah satu unsur hara yang esensial untuk tanaman dan umumnya tanaman menyerap dalam bentuk ion K+.
Tumbuhan dapat mengalami proses penuaan daun (senescence) sehingga terjadi penyerapan kembali unsur hara (nutrients resorption) (Aerts, dalam Supriyo dan Prehaten, 2014). Daun yang mengalami proses penuaan akan menyebabkan RNA, protein dan senyawa lain yang terdiri dari N dan P berubah menjadi bentuk anorganik dan larutan organik. Sebanyak 90% unsur N dan P pada daun ditranslokasikan pada organ lain sebelum daun gugur, akan tetapi hal ini tidak ditemui pada Ca (Chapin, dalam Supriyo dan Prehaten, 2014).
II.2 Mekanisme Penyerapan Zat Hara
Sel hidup pada tumbuhan harus mendapatkan air dari apoplas demi tumbuh atau untuk sekadar tetap hidup. Hal ini berarti potensial air di protoplas harus sedikit lebih negatif daripada potensial air di dinding sekitarnya, yakni di trakeid dan pembuluh xilem. Potensial osmotik sel tumbuhan umumnya berkisar antara -0,5 sampai -3,0 MPa, walaupun potensial osmotik dapat lebih negatif daripada itu, yakni -4,0 sampai -8,0 MPa pada sel halofita. Tekanan dalam sel hidup biasanya berkisar antara 0,1 sampai 1,0 MPa (Salisbury dan Ross, 1995).
Cairan dapat terangkat ke puncak tumbuhan yang pendek maupun pada tumbuhan yang tinggi karena adanya daya penggerak. Daya penggerak adalah potensial air negatif dalam sel hidup yang timbul karena potensial osmotik yang sangat negatif dan tekanan positif yang cukup rendah di dalam sel. Jika tumbuhan mampu tumbuh, mulai dari kecambah menjadi pohon yang besar, tanpa pernah kehilangan air melalui transpirasi sekalipun, air masih akan masuk secara osmotik ke sel yang sedang membelah dan memanjang pada meristem dan batang, serta ke sel yang membesar pada daun. Pergerakan masuk ke sel hidup ini akan menarik kolom air ke atas melalui lintasan dalam tumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995).
Ketika air terambil dari tanah oleh drainase, penguapan atau dari penyerapan akar tumbuhan, maka air yang tersisa hanya akan berupa lapisan yang sangat tipis sehingga potensial airnya menjadi makin negatif. Bila potensial air tanah dan potensial air akar sama besar, maka akar tidak lagi mengambil air dari tanah, tapi transpirasi dari tajuknya berjalan terus, sehingga tumbuhan itu menjadi layu (Salisbury dan Ross, 1995).
Embrio, yang dikelilingi oleh suplai makanan berupa kotiledon, endosperma atau keduanya, memasuki dormansi (embrio berhenti tumbuh dan metabolisme hampir berhenti) jika mengalami dehidrasi selama tahap-tahap akhir pematangannya. Germinasi biji bergantung pada imbibisi (imbibition), yakni pengambilan air akibat potensial air yang rendah pada biji kering. Imbibisi air menyebabkan biji mengembang dan selaput biji merekah dan juga memicu perubah-perubah metabolik di dalam embrio yang membuat embrio kembali tumbuh. Setelah hidrasi, enzim-enzim mulai mencerna material-material simpanan endosperma atau kotiledon. Sementara itu, nutrien-nutrien ditransfer ke bagian-bagian embrio yang sedang tumbuh (Campbell, dkk., 2008).
II.3 Defisiensi Unsur Hara bagi Tanaman
Menurut Febriana, dalam Matana dan Mashud (2015), gejala defisiensi unsur hara adalah tanda-tanda yang diperlihatkan oleh tanaman sebagai akibat kekurangan salah satu atau lebih unsur hara. Defisiensi unsur hara dapat disebabkan oleh pemupukan yang dilakukan sebelumnya tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Tanaman yang mengalami defisiensi unsur hara memper-lihatkan kelainan pada bagian yang mengalami kekurangan salah satu atau lebih unsur hara tersebut, misalnya pada daun, muncul bercak-bercak.
Gejala defisiensi unsur N terlihat pertama kali pada daun-daun tua di mana daun berwarna hijau pucat kemudian menjadi kuning pucat atau kuning cerah (klorosis). Tahap selanjutnya daun akan menampakkan gejala nekrosis. Fosfor adalah unsur hara esensial dalam reaksi biokimia termasuk fotosintesis dan respirasi. Fosfor merupakan komponen utama dari adenosin difosfat (ADP) dan adenosin trifosfat (ATP) digunakan untuk mensuplai energi dalam reaksi biokimia pada tumbuhan. Fosfor adalah komponen struktural fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, koenzim, dan phosphorprotein. Defisiensi P dalam tanaman menyebabkan ratio akar terhadap pucuk lebih besar yang disebabkan oleh proporsi asimilat untuk partumbuhan akar yang dialokasikan lebih besar dibandingkan dengan pucuk (Goh dan Hardter, dalam Matana dan Mashud, 2015). Adapun defisiensi unsur hara K terjadi pada daun tua karena K diangkut ke daun muda. Gejala defisiensi unsur K timbul bercak transparan pada daun, lalu daun mengering (Matana dan Mashud, 2015).
II.4 Pengaruh Cekaman Garam bagi Tanaman
Diduga dengan penambahan unsur hara yang berlebihan akan menekan ketersediaan unsur hara lain dan menyebabkan kondisi yang tidak seimbang di dalam tanah. Kondisi ini akan mengakibatkan penyerapan unsur hara oleh tanaman menjadi tidak maksimal. Menurut Kosasih dan Heryati, dalam Satria, dkk. (2015), penambahan unsur hara yang berlebihan melalui pemupukkan dapat bersifat racun maupun mengakibatkan ketersediaan unsur Zn, Fe, dan Cu berkurang serta mempersulit penyerapan unsur Mn sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Satria, dkk., 2015).
Pengaruh konsentrasi larutan garam tinggi dapat merusak dan meracuni tanaman yang disebabkan oleh daya osmotik (Kusumiyati, dkk., 2017). Hal ini disebabkan konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air yang menyebabkan perkecam-bahan benih menjadi terhambat pada tanah yang diberi larutan NaCl. Hal ini sesuai dengan literatur Fitter dan Hay di dalamnnya yang menyatakan bahwa tanah bergaram adalah tanah yang bermuatan garam terlarut. Konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis dan menyebabkan rusaknya struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah sangat rendah.
Selain itu, tingginya konsentrasi NaCl pada daun dapat menurunkan kandungan klorofil karena peningkatan aktivitas klorofilase dan menyebabkan penyimpangan metabolisme dalam memproduksi senyawa nitrogen seperti prolin. Penurunan fotosintesis akibat salinitas tinggi terjadi sehingga tekanan turgor menurun, menyebabkan stomata tertutup dan suplai karbon dioksida yang digunakan dalam proses fotosintesis berkurang sehingga mengakibatkan fotosintat menurun (Pranasari et al., dalam Kusumiyati, dkk., 2017).
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah 7 buah botol YouC1000 sebagai botol kultur dengan sumbat yang telah dilubangi, penggaris, gelas ukur, dan gelas kimia.
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah 7 kecambah kacang merah Phaseolus vulgaris berumur 7 hari, label, air destilata, dan larutan CaCl2 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 5%, dan 10%.
III.2 Tahapan Kerja
Adapun tahapan kerja praktikum adalah sebagai berikut:
- Disiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum.
- Dari larutan baku CaCl2 10%, dibuat masing-masing 200 ml larutan 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 5%, dan 10%.
- Dimasukkan masing-masing larutan ke dalam botol kultur dan diberi label. Salah satu botol dijadikan kontrol dengan isi berupa air destilata.
- Diambil kecambah Phaseolus vulgaris yang sehat dan baik pertumbuhannya dan dimasukkan ke dalam tiap botol kultur. Sumbat botol berguna untuk menegakkan kecambah.
- Diukur dan dicatat panjang batang di atas kotiledon dengan penggaris.
- Diberi tanda tingginya cairan pada masing-masing botol kultur.
- Dicatat pertambahan tinggi kecambah dari kotiledon hingga pangkal daun pertama pada hari kedua dan ketujuh. Ditambahkan air sampai pada tinggi air semula.
- Pada hari ketujuh, setelah diukur panjang batang di atas kotiledon, diamati keadaan tanaman.
- Dibuat tabel yang menunjukkan hubungan antar pertumbuhan batang dan banyaknya air yang terserap pada masing-masing perlakuan.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Rangkaian Alat
a. Pengamatan Hari Pertama
b. Pengamatan Hari Ketiga
c. Pengamatan Hari Kelima
d. Pengamatan Hari Ketujuh
IV.1.2 Tabel Hasil Pengamatan
IV.2 Pembahasan
Praktikum dilakukan dengan menumbuhkan tujuh kecambah kacang merah Phaseolus vulgaris berumur 7 hari di dalam botol kultur selama 7 hari pengamatan. Botol kultur 1-7 kemudian secara berturut-turut diisi air destilata, 200 ml larutan CaCl2 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2,5%, dan 5%. Dilakukan pengukuran panjang sampel mulai dari pangkal batang sampai batas kotiledon pada tiap perlakuan. Selanjutnya pengukuran panjang dari kotiledon sampai batas sampai batas percabangan dilakukan pada hari ketiga, kelima dan ketujuh.
Pengukuran dari pangkal batang sampai batas kotiledon pada hari pertama untuk kontrol, konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2,5% dan 5% secara berturut-turut mendapatkan hasil adalah 11 cm, 14 cm, 12 cm, 18 cm, 14 cm, 15 cm dan 11,5 cm. Pengukuran hari ketiga yang diukur mulai dari kotiledon sampai batas percabangan untuk tiap perlakuan berturut-turut adalah 9,6 cm, 8,7 cm, 8,8 cm, 10,5 cm, 9,2 cm, 7,8 cm dan 1 cm. Pengamatan hari kelima untuk tiap perlakuan berturut-turut adalah 12 cm, 13,5 cm, 16,5 cm, 12,3 cm, 15 cm, 14 cm dan 1,4 cm sedangkan pada hari ketujuh adalah 14,2 cm, 20 cm, 23,4 cm, 20,1 cm, 18,4 cm, 25,8 cm dan 1,5 cm.
Hasil pengamatan yang dilakukan memperoleh hasil di mana pertumbuhan tanaman kacang merah Phaseolus vulgaris untuk kontrol, konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2,5% adalah dalam kondisi baik. Sementara itu, perlakuan berupa pemberian 200 mL CaCl2 5% membuat pertumbuhan tanaman justru terhambat. Hal tersebut ditandai dengan layunya tanaman dan kecilnya angka pertambahan tinggi batang.
Terhambatnya pertumbuhan tanaman dapat disebabkan oleh tingginya kadar garam yang diberikan oleh konsentrasi senyawa CaCl2, yakni 5%. Perlakuan sebelumnya, yakni pada konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2,5%, diduga masih berada di bawah batas toleransi salinalitas Phaseolus vulgaris. Namun pada konsentrasi 5%, angka salinalitas sudah melebihi batas toleransi tanaman dan akhirnya mengalami stres garam.
Penelitian serupa telah dilakukan sebelumnnya oleh Pessarakli (1999), Saadallah dkk (2001), Gama dkk. (2007), Cokkizgin (2012) dan Mena dan Leiva-Mora (2015), di mana diberikan konsentrasi NaCl yang berbeda pada beberapa kecambah Phaseolus vulgaris dan parameter menunjukkan bahwa kondisi salinalitas yang tinggi akan menghambat pertumbuhan Phaseolus vulgaris. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Mena dan Leiva-Mora (2015) di mana 7 buah kecambah Phaseolus vulgaris diberi NaCl dengan tekanan masing-masing 0, -0,2, -0,4, -0,6, -0,8, -1,0 dan -1,2 MPa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi NaCl di atas tekanan -0,6 menghambat pertumbuhan kecambah Phaseolus vulgaris (ditandai dengan pertumbuhan daun dan batang serta kandungan klorofil yang rendah), dalam hal konsentrasi garam yang diberikan telah melampaui batas toleransi.
Berdasarkan literatur, stres garam dapat menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomassa tanaman. Semakin tinggi angka salinalitas, maka semakin tinggi pula angka potensial osmotiknya. Lebih tingginya potensial osmotik pada lingkungan luar tanaman kacang merah dalam botol kultur menyebabkan keluarnya air dari dalam sel tanaman secara osmosis. Sementara itu, uptake garam yang berlebih oleh akar tanaman berdampak pada terhambatnya penyerapan unsur terlarut yang lain. Hal ini tentu berefek pada rendahnya jumlah zat yang disuplai oleh akar untuk fotosintesis sehingga jumlah energi hasil fotosintesis guna pertumbuhan dan perkembangan tanaman juga menjadi rendah.
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum yang telah dilakukan, antara lain:
- Tiap tanaman memiliki batas toleransi salinalitas yang berbeda di mana untuk tanaman Phaseolus vulgaris, pemberian 200 mL larutan CaCl2 konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan tanaman akibat mengalami stres garam.
- Tingginya salinitas dapat menghambat penyerapan air oleh akar sehingga produktivitas tanaman menurun. Turunnya angka produktivitas menyebab-kan pertumbuhan tanaman terhambat, ditandai dengan kondisi tanaman kacang tanah Phaseolus vulgaris yang kerdil.
V.2 Saran
Kegiatan respon tulis sebaiknya dapat diadakan dalam suasana yang kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, B., 2016. Pengaruh
Perakaran terhadap Penyerapan Nutrisi dan Sifat Fisiologis pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum). Jurnal Perbal. Vol.4(1):1-9.
Asngad, A., 2013. Inovasi Pupuk
Organik Kotoran Ayam dan Eceng Gondok Dikombinasi dengan Bioteknologi Mikorida
Bentuk Granul. Jurnal MIPA.
Vol.36(1):1-7.
Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A.
Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V. Minorsky dan R.B. Jackson, 2008. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Fajarditta, F., Sumarsono dan F.
Kusmiyati, 2012. Serapan Unsur Hara Nitrogen dan Phosfor Beberapa Tanaman Legum
pada Jenis Tanah yang Berbeda. Animal
Agriculture Journal. Vol.1(2):41-50.
Kurt, H., G. Ekici, M. Aktas dan
O. Aksu, 2013. Determining Biology Student Teachers’ Cognitive Structure on the
Concept of “Diffusion” Through the Free Word-Association Test and the
Drawing-Writing Technique. International
Education Studies. Vol.6(9):187-206.
Kusumiyati, T.M. Onggo dan F.A.
Habibah, 2017. Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam NaCl terhadap Pertumbuhan dan
Kualitas Bibit Lima Kultivar Asparagus. Jurnal
Hortikultura. Vol.27(1):79-86.
Lakitan, B., 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers, Jakarta.
Matana, Y.R. dan N. Mashud, 2015.
Respons Pemupukan N, P, K dan Mg terhadap Kandungan Unsur Hara Tanah dan Daun
pada Tanaman Muda Kelapa Sawit. Bulletin
Palma. Vol.16(1):23-31.
Rumbarak, V.G., Bagyono, M.
Yuwono dan F.H. Listyorini, 2017. Pengaruh Pemberian Pupuk Anorganik dan Pupuk
Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Jurnal
AGROTEK. Vol.5(6):81-89.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross,
1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1.
Penerbit ITB, Bandung.
Satria, N., Wardati dan M.A.
Khoiri, 2015. Pengaruh Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Pupuk
terhadap Pertumbuhan Bibit Tanaman Gaharu (Aquilaria
malaccencis). Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Pertanian (JOM Faperta). Vol.2(1):1-14.
Supriyo,
H. dan D. Prehaten, 2014. Kandungan Unsur Hara dalam Daun Jati yang Baru Jatuh
pada Tapak yang Berbeda. Jurnal Ilmu
Kehutanan. Vol.8(2):108-116.
Tidak untuk disalin!
Artikel ini dibagikan untuk memberi contoh dan menginspirasi:)
0 Comment:
Post a Comment