BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Identitas merupakan aset karakteristik fisik, fungsional atau psikis, normal atau patologis yang mendefinisikan suatu individu. Adanya identitas membuat sesuatu menjadi dapat didefinisikan dan dapat dikenali. Terdapat berbagai metode yang dapat mengidentifikasikan seseorang, salah satunya adalah dengan identifikasi sidik jari (Narayana, dkk., 2016). Pada kulit jari tangan, telapak tangan, jari kaki dan telapak kaki terdapat sulur-sulur yang menimbulkan pola gambaran tertentu yang disebut dengan dermatoglifi. Dermatoglifi tidak akan pernah berubah seumur hidup. Antara satu orang terhadap yang lain bahkan antar jari pada seorangpun tidak mungkin ada yang sama persis. Dermatoglifi mulai terbentuk pada awal bulan kedua perkembangan embrio dan telah terbentuk secara sempurna pada minggu ke-17. Pembentukan dermatoglifi ini dapat ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan embrio (Iriane, dkk., 2003).
Penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan kaitan sidik jari dengan berbagai penyakit genetik terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Sudah hampir 150 tahun yang lalu, dermatoglifi digunakan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Biologi, kesehatan, genetika, dan evolusi. Selain itu, dermatoglifi juga digunakan secara luas sebagai alat identifikasi seseorang (Wati, dkk., 2015).
Berdasarkan penjabaran di atas, maka perlu dilakukan sebuah praktikum untuk mengetahui penurunan multifaktor pada sidik jari.
I.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui penurunan multifaktor pada sidik jari.
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Adapun percobaan ini dilaksanakan pada hari --- pukul 14.00 – 17.00 WITA bertempat di Laboratorium Genetika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Sejarah Dermatoglifi
Manusia memiliki ukiran di telapak tangan dan telapak kaki. Ukiran sidik jari pertama kali diteliti oleh Cummins dan Midlo (1926) dan menemukan istilah dermatoglyphics, di mana derma berarti kulit dan glyph berarti ukiran. Sidik jari terbentuk sejak awal perkembangan embrio, yaitu pada umur embrio 13 minggu sampai 24 minggu. Pola sidik jari ditentukan oleh banyak gen (poligen) sehingga secara genetik tidak pernah berubah seumur hidup, kecuali dipengaruhi lingkungan seperti kerusakan oleh lingkungan.
Menurut penelitian Galton, sidik jari tidak pernah sama pada manusia dan tidak pernah berubah. Sudah hampir 150 tahun yang lalu, dermatoglifi digunakan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Biologi, kesehatan, genetik dan Evolusi. Selain itu, digunakan secara luas sebagai alat identifikasi seseorang seseorang (Wati, dkk., 2015).
Pada tahun 1880, Fauld (seorang ahli anatomi manusia) menyatakan bahwa pola yang ada di bagian bawah jari tangan, akan menjadi hal yang penting dalam mengidentifikasi dan menyelidiki tindak kejahatan. Hal itu dikarenakan adanya ciri individuality pada sidik jari, yakni berbeda-beda tiap individu. Sejak itu, pola sidikjari banyak digunakan dalam dunia kepolisian (Siburian, dkk., 2010)
Hal tersebut dimulai ketika Sir Richard Edward Henry melakukan usaha dalam mengelompokkan pola sidik jari sehingga dunia forensik sangat terbantu dalam mengungkap sebuah kejahatan. Henry bukanlah penemu teknik atau metode sidik jari, namun berkat kepeloporannya saat mendirikan Biro Sidik Jari di Scotland Yard, penggunaan sidik jari menjadi bagian penting aparat penegak hukum.
Henry yang telah menjabat sebagai inspektur jenderal di Kepolisian Bengal saat itu mendapatkan ketertarikan pada apa yang dikembangkan oleh Sir Francis Galton dan juga beberapa pihak lain yang menggunakan sidik jari dalam mengidentifikasi penjahat. Galton memang menulis buku berjudul Finger Prints. Henry, dan Galton kemudian berkorespondensi secara reguler selama tahun 1894. Mereka mendiskusikan penggunaan sidik jari. Pada tahun 1896, Henry membuat aturan di Kepolisian Bengal, yaitu setiap narapidana di sana tidak hanya diambil ciri-ciri fisik mereka saja, tapi juga sidik jarinya. Maka dibantu oleh Azial Haque dan Hemchandra Bose, Henry pun mulai mengembangkan sistem klasifikasi sidik jari (Asti, dkk., 2009).
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mencari tahu tentang pola sidik jari dan kegunaannya untuk berbagai keperluan. Perkembangan teknologi komputer sangat mendukung penelitian ilmu dermatoglyphics ini dan software-software aplikasi untuk mengidentifikasi sidik jari dengan akurasi tinggi telah dikembangkan. Beberapa tahun belakangan ini, pemanfaatan ilmu dermatoglyphics untuk keperluan pendidikan dan pengembangan HRD sangat gencar dilakukan dan disambut dengan antusias tinggi dari kalangan-kalangan peneliti asal negeri Cina, Taiwan, Jepang dan negara lainnya. Sementara itu, kalangan ilmuwan Barat tampaknya sangat berhati-hati untuk penelitian tersebut. Perbedaan ini tampaknya timbul karena ilmuwan Barat sangatlah menjunjung tinggi rasionalitas dan prosedur standar ilmiah untuk sesuatu penemuan baru. Sedangkan kalangan ilmuwan Timur cenderung mewarisi cara pandang yang lebih holistik (Misbach, 2010).
II.2 Pola Sidik Jari (Fingerprint Patterns)
Pola sidik jari telah dikelompokkan oleh Galton, secara garis besar menjadi tiga pola, yaitu tipe arch, tipe loop dan tipe whorl. Tipe arch berupa garis yang melengkung ke arah distal dan pada pola ini tidak terdapat triradius. Pola loop memiliki lengkung seperti kait dengan satu triradius, dan pola whorl berbentuk pusaran dan memiliki dua triradius (Wati, dkk., 2015).
Gambar II.1
Pola Sidik Jari (dari kanan ke kiri: Arch, Loop, Whorl) (Eboh, 2013)
Perhitungan banyaknya rigi dilakukan mulai dari triradius sampai ke pusat dari pola sidik jari. Klasifikasi dari bentuk sidik jari tersebut di muka didasarkan atas banyaknya triradius, yaitu titik-titik dari mana rigi-rigi menuju ke tiga arah dengan sudut kira-kira 120 derajat. Bentuk sidik jari yang paling sederhana ialah lengkung (arch), yang tidak mempunyai triradius, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan rigi. Dua buah triradius terdapat pada bentuk lingkaran. Sedangkan bentuk sosok (loop) memiliki sebuah triradius. Jika bagian yang terbuka dari bentuk sosok menuju ke arah ujung jari, maka bentuk sosok dinamakan sosok radial. Tetapi jika bagian yang terbuka itu menuju ke pangkal jari, maka bentuk sosok disebut sosok ulnar (Suryo, 2008).
II.3 Variasi Pola Sidik Jari pada Manusia
Pada pewarisan pola sidik jari, alam telah menetapkan pola pewarisannya. Faktor genetik mengatur kapan dan di mana pola sidik jari akan terbentuk. Sedangkan untuk pembentukan sulur, banyaknya sulur yang terbentuk langsung dipengaruhi oleh gen sehingga gen yang terlibat lebih banyak dibandingkan pada saat pembentukan pola sidik jari. Meskipun pola sidik jari dan jumlah sulur diwariskan secara genetik, akan tetapi jumlah sulur lebih dapat diwariskan daripada pola sidik jari (Purbasari dan Angga, 2017)
Frekuensi dari berbagai pola sidik jari sangat bervariasi dari satu jari dengan jari lainnya. Kira-kira 5% dari bentuk sidik jari pada ujung jari adalah tipe lengkung. Bentuk sosok kira-kira 65-70% dan kira-kira 25-30% adalah tipe lingkaran. Untuk mendapatkan jumlah perhitungan rigi, maka rigi dari semua jari-jari dijumlahkan. Pada perempuan, rata-rata jumlah rigi adalah 127, sedangkan pada laki-laki adalah 144 (Suryo, 2008).
Penghitungan jumlah total sulur dilakukan dengan menentukan garis yang ditarik dari titik triradius hingga ke pusat pola. Penghitungan jumlah sulur tidak termasuk titik triradius dan pusat pola. Pada pola Whorl, karena terdapat dua titik triradius, maka sulur dihitung untuk kedua sisi, akan tetapi jumlah sulur yang diperhitungkan dalam menentukan jumlah sulur total adalah pada sisi yang terbanyak. Untuk pola Loop, karena hanya terdapat satu titik triradius, maka hanya ada satu sisi yang akan di hitung jumlah sulurnya. Sedangkan untuk pola Arch, tidak memiliki core dan hitungan garis antara delta dan core sehingga jumlah sulurnya adalah 0.
Jumlah total sulur (Total Ridge Count) merupakan penjumlahan sulur dari kesepuluh jari tangan. Sudut ATD merupakan sudut yang terbentuk antara titik A, titik T dan titik D. Sudut ATD dibuat dengan menghubungkan titik triradius A, titik triradius T dan titik triradius D. Kadangkala ada telapak tangan yang memiliki lebih dari satu titik T. Untuk hal seperti itu biasanya diambil titik T yang lebih rendah letaknya pada telapak tangan (Siburian, 2010).
Purbasari dan Sumadji (2017) melakukan survey berupa persentase pola sidik jari whorl, loop dan arch pada berbagai suku bangsa dan mendapatkan data berikut:
Gambar II.2
Persentase Pola Sidik Jari whorl, loop, dan arch pada Berbagai Suku Bangsa (Purbasari dan Sumadji, 2017)
Suku Jawa, Dayak, Lampung, Bali, Banjar, Madura dan Betawi pada individu diperoleh bahwa persentase tertinggi dijumpai pada pola loop, kemudian whorl dan yang terkecil adalah arch. Hal sesuai dengan fakta bahwa frekuensi pola sidik jari arch adalah kira-kira sebesar 5%. Frekuensi ini paling kecil daripada pola loop dan whorl (Purbasari dan Sumadji, 2017).
Sementara itu, Eboh (2013) melakukan survey distribusi pola sidik jari berdasarkan pada jenis kelamin dalam lingkup mahasiswa Delta State University, Abraka, Nigeria. Dari survey yang telah dilakukannya, maka diperoleh data berikut:
Gambar II.3
Distribusi pola sidik jari berdasarkan pada jenis kelamin (Eboh, 2013)
Hasil data menunjukkan tabulasi campuran uji chi square antara jenis kelamin dan pola sidik jari. Dalam tiap pola sidik jari, jenis kelamin perempuan memiliki persentase pola sidik jari loop dan whorl yang lebih tinggi sementara jenis kelamin memiliki persentase pola sidik jari arch yang lebih tinggi. Adapun dalam uji X2, tidak terdapat tautan yang signifikan antara jenis kelamin dan pola signifikan (P>0,05) (Eboh, 2013).
II.4 Hubungan Sidik Jari dengan Kelainan
Sidik jari merupakan objek yang sangat menarik untuk diselidiki dan telah digunakan baik untuk diselidiki dan telah digunakan untuk berbagai keperluan identifikasi, hubungan keturunan, maupun membantu diagnosis. Bidang kedokteran dermatoglifi juga digunakan sebagai alat bantu skrening suatu diagnosis penyakit. Seorang penulis buku Dermatoglyphics an International Perspective, Malmawa, dalam bukunya menegaskan bahwa sidik jari seharusnya dapat dan bisa dijadikan sebagai alat screening awal berbagai penyakit yang ada di dalam tubuh manusia (Jaya, dkk., 2014).
Menurut Zhou, dermatoglifi dapat digunakan dalam diagnosa kelainan jumlah dan struktur kromosom. Penelitian terbaru menemukan bahwa kurang lebih 50 jenis penyakit mempunyai hubungan dengan dermatoglifi telapak tangan. Penyakit-penyakit tersebut terdiri dari penyakit genetik yang disebabkan oleh satu gen, banyak gen maupun penyakit kromosom. Dikatakan bahwa dermatoglifi merupakan pola yang telah mengalami evolusi, dan terdiferensiasi dari kelompok mamalia (Wati, dkk., 2015).
Deaton melaporkan bahwa pola sidik jari tangan, telapak tangan dan telapak kaki mempunyai hubungan erat dengan berbagai macam penyakit keturunan atau cacat karena kelainan kromosom. Contohnya dapat ditemukan pada penderita sindroma Down. Terdapat lebih dari separuh jumlah anak-anak penderita sindrom Down mempunyai garis pada telapak tangan seperti kepunyaan kera dan banyak yang mempunyai sidik jari bentuk lingkaran atau sosok ulnar (Suryo, 2008).
Menurut penelitian yang sudah berkembang, kelompok yang memiliki penyakit keturunan memiliki ciri-ciri sulur tertentu. Pola sidik jari ujung jari tunanetra berbeda dengan penelitian lain di antaranya pola sidik jari pada kelompok retardasi mental dan memperoleh hasil kelompok retardasi mental memiliki pola arch lebih banyak dan jumlah rigi sidik jarinya lebih rendah dibandingkan kelompok normal. Hasil penelitian Tirtamasni memperoleh bahwa tipe pola sulur ujung jari tangan penderita hemofilia adalah radial loop sebesar 33%, ulnar loop sebesar 27,5%, plain whorl sebesar 27%, double loop whorl sebesar 11,5%, dan central pocket loop whorl sebesar 1%. Banyak hal yang bisa mempengaruhi dermatoglifi atau jumlah sulur ujung jari, tetapi yang terutama berperan diduga adalah saraf-saraf di lapisan epidermis (Wati, dkk., 2015).
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam melakukan percobaan ini adalah bantalan stempel, busur derajat, kalkulator, dan alat tulis menulis.
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam melakukan percobaan ini adalah tinta stempel, dan kertas putih.
III.2 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja kebakaan adalah sebagai berikut:
- Disiapkan alat dan bahan.
- Pada bantalan stempel diberi tinta yang tipis dan merata.
- Ibu jari ditekan dengan perlahan pada bantalan stempel lalu ditekankan kembali jari yang telah diberi tinta pada kertas putih agar terbentuk cap jari.
- Ditentukan pola sidik jarinya dan dihitung jumlah rigi-riginya.
- Ditentukan titik A, T, dan D pada telapak tangan kemudian hubungkan garis ketiga titik.
- Diukur sudut yang terbentuk pada tiga titik ATD.
- Dilakukan hal yang sama untuk semua jari baik pada tangan kanan maupun tangan kiri.
- Dicatat semua data dari semua kelompok dan dihitung persentase masing-masing pola.
- Dilakukan uji chi square untuk mengetahui probabilitas penyimpangan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
a. Data Kelas
No | Nama | Pola Sidik Jari | Jumlah Sulur | Sudut ATD |
Arch | Loop | Whorl |
1. | . | - | 9 | 1 | 143 | 41º |
2. | . | - | 1 | 9 | 142 | 39,5º |
3. | . | - | 9 | 1 | 110 | 38,5º |
4. | . | - | 4 | 6 | 164 | 39º |
5. | . | - | 8 | 2 | 106 | 38,5º |
6. | . | - | 2 | 8 | 120 | 44,5º |
7. | . | - | 10 | - | 123 | 42,5º |
8. | . | - | 10 | - | 115 | 40º |
9. | . | - | 1 | 9 | 111 | 47,5º |
10. | . | - | 2 | 8 | 195 | 45º |
11. | . | - | 3 | 7 | 126 | 45º |
12. | . | 1 | 9 | - | 105 | 47º |
13. | . | - | - | 10 | 133 | 37º |
14. | . | - | - | 10 | 104 | 49º |
15. | . | - | 8 | 2 | 134 | 43º |
16. | . | - | - | 10 | 125 | 35º |
17. | . | - | 10 | - | 127 | 45º |
18. | . | - | - | 10 | 167 | 45º |
19. | . | - | 7 | 3 | 144 | 43º |
20. | . | - | 3 | 7 | 153 | 39º |
21. | . | - | 6 | 4 | 190 | 43º |
22. | . | - | 5 | 5 | 134 | 36º |
23. | . | - | 5 | 5 | 135 | 46º |
24. | . | - | 7 | 3 | 135 | 41º |
25. | . | - | 10 | - | 129 | 50º |
26. | . | - | 9 | 1 | 132 | 38º |
27. | . | - | 6 | 4 | 151 | 40º |
28. | . | - | 2 | 8 | 142 | 42º |
29. | . | - | 8 | 2 | 124 | 39º |
30. | . | - | 5 | 5 | 127 | 39,5º |
31. | . | - | 5 | 5 | 151 | 38º |
32. | . | - | 10 | - | 148 | 38º |
33. | . | - | 7 | 3 | 163 | 36º |
34. | . | - | 4 | 6 | 152 | 34º |
35. | . | - | 5 | 5 | 111 | 36,5º |
36. | . | - | 10 | - | 115 | 33º |
37. | . | - | 4 | 6 | 128 | 39º |
38. | . | 1 | 6 | 3 | 121 | 40º |
39. | . | - | 8 | 2 | 144 | 37º |
Jumlah Mahasiswa: 39
Jumlah Sulur Laki-Laki: 1210
Jumlah Sulur Perempuan: 4043
b. Tabel Chi Square Pola Sidik Jari
c. Tabel Chi Square Jumlah Sulur
IV.2 Pembahasan
Dermatoglifi merupakan sulur-sulur pada kulit jari dan telapak tangan, serta jari dan telapak kaki yang menimbulkan pola gambaran tertentui. Dermatoglifi bersifat immotality yang berarti tetap dan individuality yang berarti berbeda tiap individu. Dermatoglifi seseorang ditentukan oleh faktor genetik maupun lingkungan embrio.
Tujuan yang ingin dicapai dalam percobaan ini adalah untuk mengetahui penurunan multifactor dari dermatoglifi. Dalam praktikum, tiap orang memeriksa sidik jarinya masing-masing dengan menggunakan bantalan stempel. Ditentukan core dan triradius untuk kemudian dihitung jumlah sulurnya. Ditentukan pula titik ATD-nya dan diukur besar sudutnya dengan menggunakan busur derajat.
Dari hasil percobaan, diperoleh jumlah pola sidik jari arch, loop dan whorl secara berturut-turut dari total 390 sidik jari adalah 2, 227 dan 161. Sementara jumlah sulur laki-laki adalah 1210 dan jumlah sulur perempuan adalah 4043. Dengan total X2 adalah 30,26 untuk pola sidik jari dan derajat kebebasan adalah 2, maka diperoleh probabilitas 0,9995. Sedangkan untuk jumlah sulur, diperoleh total X2 adalah 7,87. Dengan derajat kebebasan adalah 1, maka didapatkan probabilitas 0,975.
Dari hasil yang dipaparkan di atas, dengan merujuk pada tabel chi square, maka tampak bahwa data tersebut telah sesuai dengan data di literatur. Nilai perbandingan arch:loop:whorl adalah 5%:75%:20% pada literatur telah sesuai dengan data hasil percobaan. Adapun alasanya mengapa tingkat kepercayaan data yang didapatkan sangat tinggi dapat disebabkan karena populasi yang begitu besar, yakni beranggotakan 390 sidik jari.
Adapun dalam percobaan, didapatkan bahwa jumlah sulur laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah sulur pada perempuan. Hasil tersebut sesuai dengan teori Penrose (1971). Hal ini dapat disebabkan karena sangat umum ditemukan pola sidik jari whorl dan loop pada laki-laki sehingga memberikan kontribusi yang besar pada jumlah sulur. Karena telah diketahui bahwa pola arch lebih sering dijumpai pada perempuan dibanding laki-laki.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan Dermatoglifi adalah bahwa nisbah yang diperoleh, yakni 2:227:161 untuk jumlah pola sidik jari dengan probabilitas 0,9995 dan 1210:4043 untuk jumlah sulur dengan probabilitas 0,975 telah sesuai dengan teori pada literatur di mana perbandingan arch:loop:whorl adalah 5%:75%:20 % adalah benar. Karena kedua nilai probabilitas yang didapatkan berada di bawah kolom 0,50, maka hipotesis diterima.
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk Laboratorium
Sebaiknya dilakukan pengadaan evaluasi fasilitas laboratorium.
V.2.2 Saran untuk Asisten
Sebaiknya dapat dilakukan kegiatan tanya jawab di awal praktikum.
V.2.3 Saran untuk Praktikan
Sebaiknya praktikan dapat lebih sigap dalam melakukan percobaan agar waktu praktikum dapat berjalan seefektif dan seefisien mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Asti, B. Muchlisin dan J.A. Munif, 2009. 105 Tokoh Penemu & Perintis Dunia. Penerbit
Narasi, Yogyakarta.
Eboh, D.E.O., 2013. Fingerprint patterns in relation to gender
and blood group among students of Delta State University, Abraka, Nigeria. Journal of Experimental and Clinical
Anatomy. Vol. 12(2): 82-86.
Iriane, V.W., P. Sanjoto dan R.M. Loekito, 2003. Perbedaan
Bentuk Lukisan Sidik Jari, Ridge Count, Palmar Patterndan Sudut A-T-D antara
Orang Tua Anak Sumbing dengan Orang Tua Anak Normal di Timor Tengah Selatan,
Nusa Tenggara Timur. Majalah Kedokteran
Unibraw. Vol. 19(2): 1-4.
Jaya, H., Triwani, H. Yasin, J. Marwoto dan Lukman, 2014. Hubungan Pola
Dermatoglifi dengan Hipertensi Essensial. Jurnal
Keperawatan Soedirman. Vol. 9(2): 126-133.
Misbach, I.H.. 2010. Dahsyatnya
Sidik Jari: Menguak Bakat dan Potensi untuk Merancang Masa Depan melalui
Fingerprint Analysis. Visi Media, Jakarta.
Narayana, B.L., Y.K.C. Rangaiah dan M.A. Khalid, 2016. Study of Fingerprint
Patterns in Relation to Gender and Blood Group. Journal of Evolution
Medical Dent. Science. Vol. 5(14): 630-633.
Purbasari, K. dan A.R. Sumadji, 2017. Variasi Pola Sidik Jari Mahasiswa
Berbagai Suku Bangsa di Kota Madiun. Jurnal
Florea. Vol. 4(2): 47-54.
Siburian, J., E. Anggreini dan S.F. Hayati, 2010. Analisis Pola Sidik Jari
Tangan dan Jumlah Sulur serta Besar Sudut ATD Penderita Diabetes Mellitus di
Rumah Sakit Umum Daerah Jambi. Jurnal
Biospecies. Vol. 2(2): 12-17.
Suryo, 2008. Genetika Manusia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Susanto, A.H., 2011. Genetika.
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Wati, M., R.R.P. Megahati dan W.N. Sari, 2015. Pola Khas yang Ditemukan pada
Sidik Jari dan Telapak Tangan pada Anak-Anak Tuna Netra di Kota Padang. Jurnal BioCONCETTA. Vol. 1(2): 59-66.
Tidak untuk disalin!
Artikel ini dibagikan untuk memberi contoh dan menginspirasi:)
0 Comment:
Post a Comment