BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Apakah kita laki-laki atau perempuan merupakan salah satu karakter fenotipe yang paling jelas terlihat. Walaupun banyak perbedaan anatomis dan fisiologis antara perempuan dan laki-laki, dasar kromosomal penentuan jenis kelamin cukup sederhana. Pada manusia, terdapat dua macam kromosom seks, disimbolkan X dan Y. Kromosom Y jauh lebih kecil daripada kromosom X. Seseorang yang mewarisi dua kromosom X, satu dari masing-masing orangtua, biasanya berkembang menjadi perempuan. Laki-laki berkembang dari zigot yang mengandung satu kromosom X dan satu kromosom Y (Campbell, dkk., 2008). Apabila suatu gen terletak pada kromosom X, maka gen itu akan diwariskan menurut pola bersilang. Artinya, gen yang terletak pada kromosom X itu tidak mungkin diwariskan oleh seorang ayah secara langsung kepada anak laki-lakinya. Ekspresi dari beberapa gen yang diketahui terletak di autosom dapat dipengaruhi oleh seks dari seseorang yang memilikinya. Ada banyak contoh sifat keturunan yang ditentukan oleh gen autosomal yang ekspresinya dipengaruhi oleh seks. Sifat itu tampak pada kedua macam seks, tetapi pada salah satu seks ekspresinya lebih besar daripada untuk seks lainnya. Perempuan misalnya lebih sering menderita penyakit autoimun, namun sebaliknya laki-laki lebih sering botak kepalanya dibandingkan dengan perempuan (Suryo, 2008).
Berdasarkan penjabaran di atas, maka perlu dilakukan sebuah praktikum untuk mengetahui secara jelas bagaimana ekpresi gen yang dipengaruhi oleh jenis kelamin.
I.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan gen yang dipengaruhi oleh jenis kelamin adalah untuk mengetahui frekuensi fenotip dan genotip panjang jari telunjuk.
I.3 Waktu dan Tempat Percobaan
Adapun percobaan ini dilaksanakan pada hari --- pukul 14.00 – 17.00 WITA bertempat di Laboratorium Genetika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Umum
Adanya pautan kelamin pertama kali ditemukan oleh T.H. Morgan dan C.B. Bridger pada tahun 1910. Temuan ini diperoleh saat mempelajari penyimpangan dari hasil (keadan) yang diharapkan. T. H. Morgan memiliki suatu strain Drosophila melanogaster yang bermata putih dan ternyata strain tersebut sudah tergolong galur murni. Namun demikian jika strain bermata putih disilangkan dengan strain berwarna merah, ternyata turunan yang muncul tidak sesuai dengan yang seharusnya berdasarkan kebakaan Mendel. Temuan tentang adanya pautan ini pun pada dasarnya mempertegas lagi konsepsi kita bahwa faktor-faktor (gen) adalah bagian dari kromosom, dan dalam rumusan lain temuan ini memperkokoh teori pewarisan kromosom (Natsir, 2013).
Gambar 2.1
Warna mata pada Drosophila melanogaster (Campbell, dkk., 2010)
Seseorang yang mewarisi dua kromosom X, satu dari masing-masing orang tua, biasanya berkembang menjadi perempuan. Sedangkan laki-laki berkembang dari zigot yang mengandung satu kromosom X dan satu kromosom Y. Wilayah-wilayah homolog pada kedua sisi kromosom X dan Y pada laki-laki berpasangan dan berperilaku seperti kromosom-kromosom homolog saat meiosis dalam testis. Baik dalam testis maupun ovarium, kedua kromosom seks bersegresi selama meiosis, dan masing-masing gamet menerima satu. Masing-masing sel telur mengandung satu kromosom X. Sebaliknya, sperma digolongkan menjadi dua kategori: separuh sel-sel sperma yang dihasilkan oleh seorang laki-laki mengandung kromosom X, sedangkan separuhnya lagi mengandung kromosom Y.
Jika suatu sel sperma yang mengandung kromosom X membuahi sel telur, zigot pun menjadi XX (perempuan). Jika sel sperma yang mengandung kromosom Y membuahi sel telur, zigot pun menjadi XY (laki-laki) (Campbell, dkk., 2008).
II.2 Gen Rangkai Kelamin
Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan sebagai gen rangkai kelamin (sex-linked genes). Fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk. Gen rangkai kelamin dapat dikelompokkan berdasarkan atas tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes) (Susanto, 2011).
II.2.1 Gen Rangkai Kelamin Terkait X
Lebih dari 150 sifat keturunan yang kemungkinan besar disebabkan oleh gen-gen terangkai –X dikenal pada manusia. Kebanyakan disebabkan oleh gen resesif. Contoh sifat keturunan yang disebabkan oleh gen rangkai X resesif adalah buta warna, anodontia, hemofilia dan penyakit DMD (Duchenne Muscular Dystrophy) (Suryo, 2008).
1. Buta Warna
Buta warna adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu. Faktor utama yang sampai saat ini dipercaya sebagai penyebab utama buta warna adalah faktor genetik yang sex-linked, artinya kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Hal ini yang menyebabkan lebih banyak penderita buta warna laki-laki dibandingkan wanita (Kartika, dkk., 2014).
Karena gennya terdapat dalam kromosom X sedangkan perempuan memiliki 2 kromosom X, maka seorang perempuan dapat normal homozigotik (CC), normal heterozigotik (Cc) atau yang amat jarang dijumpai homozigotik (cc) sehingga buta warna. Laki-laki hanya memiliki sebuah kromosm X saja, sehingga laki-laki hanya dapat normal (C-) atau buta warna (c-). Seorang perempuan normal (homozigotik) yang kawin dengan seorang laki-laki buta warna akan mempunyai anak normal, baik laki-laki maupun perempuan. Namun jika seorang laki-laki normal C- kawin dengan seorang perempuan buta warna cc, maka semua anak perempuan akan normal Cc, tetapi semua anak laki-lakinya akan menderita buta warna (Suryo, 2008).
Gambar 2.2
Uji buta warna (Susanto, 2011)
2. Anodontia
Anodontia ialah kelainan herediter yang menyebabkan orang tidak mempunyai gigi seumur hidup sejak lahir. Kelainan ini ditentukan oleh gen resesif a yang terdapat pada kromosom X, sehingga penderita tidak mempunyai benih gigi dalam tulang rahang. Alelnya dominan A menentukan orang bergigi normal. Pasangan gen ini diwariskan dari orang tua kepada keturunannya sama hannya seperti buta warna (Suryo, 2008).
3. Hemofilia
Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah dengan karakteristik sex-linked resesif dan autosomal resesif, disertai masalah perdarahan dan kelainan pembekuan yang memerlukan penanganan multidisipliner. Gejala yang paling sering terjadi ialah perdarahan, baik di dalam tubuh (internal bleeding) maupun di luar tubuh (external bleeding). Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema, hematemesis, hematoma, perdarahan intrakranial, hematuria, melena, dan hemartrosis. Terdapatnya external bleeding dapat bermanifestasi sebagai perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal atau pada ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi luka kecil; dan perdarahan dari hidung tanpa sebab yang jelas (Yoshua, dkk., 2013).
Perkawinan antara seorang perempuan normal homozigotik (HH) dengan laki-laki hemofilia (h-) akan menghasilkan anak perempuan maupun laki-laki normal. Walaupun anak perempuan itu normal, tetapi akan bersifat carrier. Jika dia menikah dan kebetulan mendapatkan suami hemofilia pula, maka separuh dari jumlah anak laki-lakinya ada kemungkinan hemofilia. Sedangkan genotip hh bersifat letal. Dengan demikian tidak ada perempuan yang menderita hemofilia (Suryo, 2008).
4. DMD (Duchenne Muscular Dystrophy)
DMD adalah gangguan resesif X-linked di mana otot mengalami kelemahan. Kelamahan ini dapat diamati ketika penderita mengalami kesulitan ketika melangkah, menaiki tangga rumah atau ketika bangkit dari posisi duduk. Pada umur 12 tahun, kehidupan mereka sudah bergantung pada kursi roda. Pada umumnya, mereka sulit bertahan hidup melebihi umur 20 tahun. Kematian penderita biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan atau terserangnya otot-otot jantung sehingga terjadi gagal jantung karena hampir 95% penderita DMD mengalami gangguan jantung (Kresnowidjojo, 2014).
II.2.2 Gen Rangkai Kelamin Terkait Y
Oleh karena kromosom Y mempunyai ukuran lebih pendek daripada kromosom X, maka kromosom Y mengandung gen-gen lebih sedikit. Apabila kedua kromosom kelamin itu dijajarkan, akan dapat dilibah bahwa terdapat agia yang homolog (sama bentuk dan panjangnya) dan bagian tak homolog. Contoh sifat yang diturunkan oleh rangkai kelamin terkait X adalah hypertrichosis, yakni tumbuhnya rambut pada bagian-bagian tertentu di tepi daun telinga. Alelnya dominan H tidak menyebabkan hypertrichosis. Oleh karena gennya terdapat dalam kromosom Y, sedangkan yang memiliki kromosom Y hanyalah laki-laki saja, maka sifat keturunan ini hanya diwariskan kepada keturunan laki-laki saja (Suryo, 2008).
II.3 Gen yang Ekspresinya Diubah oleh Seks
II.3.1 Gen yang Dibatasi
Gen yang dibatasi oleh jenis kelamin adalah gen yang diturunkan dengan cara yang sama pada kedua jenis kelamin tetapi hanya menampakkan karakternya pada jenis kelamin tertentu saja. Contohnya warna kupu semanggi. Kupu jantan selalu berwarna kuning, tetapi yang betina dapat kuning dan putih. Warna putih dominan, tetapi hanya memperlihatkan diri pada kupu betina (Arsal, 2012).
Contoh lain dari gen yang dibatasi adalah gen yang mengatur produksi pada sapi perah. Dengan sendirinya gen tersebut hanya dapat diekspresikan pada individu betina. Namun, individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai potensi untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak tersebut (Susanto, 2011).
II.3.2 Gen yang Dipengaruhi
Gen yang ekspresinya dipengaruhi oleh jenis kelamin adalah sifat yang tampak pada kedua macam seks, tetapi pada salah satu seks ekspresinya lebih besar dari pada untuk seks lainnya atau dengan kata lainnya gen-gen tersebut dominansinya bergantung dari jenis kelamin individu. Contohnya pada kepala botak, jika B merupakan gen yang menentukan kepala botak dan alelnya b menentukan kepala berambut normal, maka pengaruh jenis kelamin itu demikian rupa berpengaruh sehingga gen B itu dominan pada laki-laki, tetapi resesif pada perempuan (Arsal, 2012).
Gambar 2.3
Kepala botak (Susanto, 2011)
Contoh lain adalah panjang jari telunjuk. Rasio panjang jari telunjuk terhadap jari manis pada seseorang merupakan suatu karakter atau sifat yang diwariskan melalui gen yang ekspresinya dipengaruhi oleh jenis kelamin (sex influence gene). Panjang jari kedua atau telunjuk (2D) dan jari keempat atau jari manis (4D) telah menjadi perhatian beberapa ahli karena terkait perbedaan jenis kelamin (Purwaningsih, 2016). Rasio 2D terhadap 4D untuk sebagian besar laki-laki ternyata lebih kecil daripada perempuan (Purwaningsih, 2016).
Gambar 2.4
Metode menentukan panjang jari telunjuk (Suryo, 2008)
Apabila diletakkan tangan kita pada suatu alas di mana tedapat sebuah garis mendatar sedemikian rupa sehingga ujung jari manis menyentuh garis tersebut, maka dapat diketahui apakah jari telunjuk kita lebih panjang ataukah lebih pendek daripada jari manis. Pada kebanyakan orang, ujung jari telunjuk tidak akan mencapai garis itu. Berarti bahwa jari telunjuk lebih pendek dari jari manis. Jari telunjuk pendek disebabkan oleh gen yang dominan pada laki-laki, tetapi resesif pada perempuan. Ekspresi gen itu sebagai berikut (Suryo, 2008):
Genotip | Laki-laki | Perempuan |
TT | Telunjuk pendek | Telunjuk pendek |
Tt | Telunjuk pendek | Telunjuk panjang |
tt | Telunjuk panjang | Telunjuk panjang
|
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam melakukan percobaan ini adalah alat tulis-menulis dan mistar.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam melakukan percobaan ini adalah jari telunjuk dan jari manis kepunyaan sendiri.
III.2 Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja percobaan ini adalah sebagai berikut:
- Dibuat garis horizontal yang jelas pada halaman lembar praktikan.
- Tangan kanan atau tangan kiri diletakkan di atas lembaran praktikum sehingga ujung jari telunjuk tepat menyinggung garis horizontal tersebut.
- Dicatat jari mana yang lebih panjang.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
No. | Nama | Seks | Fenotipe |
1. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
2. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
3. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
4. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
5. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
6. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
7. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
8. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
9. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
10. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
11. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
12. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
13. | . | P | Jari manis lebih panjang dibanding jari telunjuk |
14. | . | P | Jari manis lebih panjang dibanding jari telunjuk |
15. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
16. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
17. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
18. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
19. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
20. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
21. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
22. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
23. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
24. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
25. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
26. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
27. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
28. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
29. | . | L | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
30. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
31. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
32. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
33. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
34. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
35. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
36. | . | P | Jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis |
37. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
38. | . | L | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
39. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
40. | . | P | Jari telunjuk lebih pendek dibanding jari manis |
IV.2 Pembahasan
Gen yang terdapat dalam tubuh manusia terbagi atas dua, yakni autosom dan gonosom. Untuk gonosom, gen yang ada dibatasi oleh jenis kelamin. Untuk autosom, terdapat gen yang terpaut oleh jenis kelamin dan ada pula yang dipengaruhi oleh jenis kelamin. Gen yang dibatasi oleh jenis kelamin adalah gen yang hanya dapat dibawa oleh jenis kelamin tertentu. Gen yang terpaut oleh jenis kelamin adalah gen yang sifatnya bergabung dengan jenis kelamin tertentu dan diwariskan bersama kromosom seks. Sementara gen yang dipengaruhi oleh jenis kelamin adalah gen yang terdapat pada kedua jenis kelamin namun hanya ada satu jenis kelamin yang berekspresi secara dominan.
Salah satu contoh gen yang dipengaruhi oleh jenis kelamin adalah panjang jari telunjuk. Secara teori, jari telunjuk yang lebih panjang dibandingkan jari manis lebih banyak dimiliki oleh perempuan daripada laki-laki. Jari telunjuk pendek disebabkan olehgen dominan pada laki-laki, tetapi resesif pada perempuan.
Pada praktikum yang telah dilakukan, tampak bahwa dari 31 perempuan, terdapat 9 orang yang memiliki jari telunjuk panjang. Sedangkan dari 9 laki-laki, hanya terdapat 1 orang yang memiliki jari telunjuk panjang. Jika dilakukan perbandingan mengikuti kuantitas, maka diperoleh frekuensi fenotip jari telunjuk panjang pada perempuan adalah 0,29 atau 29% sedangkan pada laki-laki adalah 0,11 atau 11%. Maka tampak bahwa sifat telunjuk lebih panjang dibandingkan jari manis lebih dominan ada pada perempuan daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan sifat tersebut merupakan ekspresi dari gen yang dipengaruhi oleh jenis kelamin perempuan. Maka hasil yang didapatkan telah sesuai berdasarkan teori pada literatur.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan gen yang dipengaruhi adalah bahwa sifat jari telunjuk lebih panjang dibanding jari manis lebih dominan pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Hal tersebut berdasarkan pada hasil praktikum di mana diperoleh frekuensi fenotip sifat telunjuk panjang pada perempuan adalah 29% sementara sifat telunjuk panjang pada laki-laki adalah 11%. Maka hasil yang diperoleh telah sesuai berdasarkan pada teori.
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk Laboratorium
Sebaiknya dapat dilakukan pemeriksaan intensif pada fasilitas laboratorium dikarenakan adanya beberapa properti yang sudah tidak layak pakai.
V.2.2 Saran untuk Asisten
Asisten telah baik dalam menjelaskan percobaan maka sebaiknya kinerjanya dapat dipertahankan.
V.2.3 Saran untuk Praktikan
Sebaiknya praktikan dapat fokus dan teliti pada saat dilakukan pengamatan agar tidak terjadi human error.
DAFTAR PUSTAKA
Arsal, A.F., 2012. Analisis Pedigree Cadel (Studi Kasus Beberapa Kabupaten
di Sulawesi Selatan). Jurnal Sainsmat.
Vol. 1(2): 156-166.
Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A. Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V.
Minorsky dan R.B. Jackson, 2010. Biologi
Edisi 8, Jilid 1. Erlangga, Jakarta.
Kartika, K. Kuntjoro, Yenni dan Y. Halim, 2014.
Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna. Jurnal
Kesehatan. Vol. 41(4): 268-270.
Kresnowidjojo, S., 2014. Pengantar Genetika Medik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Natsir, N.A., 2013. Fenomena Pautan Kelamin pada Persilangan Drosophila
melanogaster Strain N♂ x w♀ dan N♂ x b♀ beserta resiproknya. Jurnal Biology Science & Education. Vol.
1(1): 79-89.
Purwaningsih, E., 2016. Insidensi
Panjang Jari Telunjuk
Terhadap Jari Manis (Rasio
2D:4D) Pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitar
YARSI Angkatan 2013-2014. Jurnal
Kedokteran Yarsi. Vol. 21(1): 1-8.
Suryo, 2008. Genetika Manusia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Suryo, 2008. Genetika Strata 1. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Susanto, A.H., 2011. Genetika.
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Yoshua, V. dan E. Angliadi, 2013. Rehabilitasi
Medik pada Hemofilia. Jurnal Biomedik.
Vol. 5(2): 67-73.
Tidak untuk disalin!
Artikel ini dibagikan untuk memberi contoh dan menginspirasi:)
0 Comment:
Post a Comment